BIROKRASI PEMERINTAHAN



Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau ( burra, kain kasar penutup meja), dan cratea ( urusan, hal ). Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi diartikan sebagai “government by bureaus” yaitu biro pemerintahan yang terdiri atas beberapa aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan pemerintahan dan/atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat ( Riggs dalam Ndraha, 2003;513). Pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu, sifat kaku,macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer dalam Ndraha,2003;513). Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.
Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan–perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus kearah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama,bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa berjuang dan mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah Kolonial yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.  Seringnya terjadi pergantian kabinet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen.
Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda.
Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit sistem, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya. Terjadinya transisi pemerintahan dari masa hindia belanda kepada Indonesia yang merdeka tidak hanya menimbulkan perdebatan mengenai bentuk Negara dan pemerintahan.pada masa orde lama di awal kemerdekaan juga terjadi perdebatan mengenai bagaimana cara regulasi dalam birokrasi khususnya mengenai stakeholder atau para birokrat.
Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa.
Pada saat Orde Lama ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau kavlinganya pada berbagai Departemen. Menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach); reorientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).
Model birokrasi yang terjadi pada masa ini hampir sama dengan awal kemerdekaan, yakni bersifat primodial atau tradisional karena pejabat yang disaring adalah orang orang yang memiliki kedekatan dan jasa terhadap pimpinan birokrasi. Pada masa ini juga terjadi patronase antara pejabat dan yang memberi jabatan. Di era Orde Lama birokrasi juga mengalami masalah dari ketersediaan aparatur terdidik, meskipun begitu pemerintah juga dihadapkan pada pilihan instan yakni merekrut kembali pegawai-pegawai orang Indonesia yang sebelumnya pernah bekerja pada birokrasi kolonial. Ketersediaan sumber daya manusia terdidik lagi kompeten atau cakap, diupayakan dengan berbagai hal salah satunya ialah menyekolahkan kembali para birokrat/ pamong praja yang masih memiliki pendidikan rendah (Vorvolgschool).
Para birokrat pada masa ini juga tidak lagi bersikap netral dalam melayani masyarakat,adanya dualisme kepentingan dan jabatan antara pemerintah dan partai politik membuat birokrat lebih mementingkan partai dan golongan dari pada masyarakat dalam menjalankan birokrasi. Dualisme kepentingan diantara birokrat ini menyebabkan birokrasi tidak berjalan semestinya dan bertahan lama,ketika partai yang berkuasa berganti maka pejabat birokrasi akan berganti karena lebih mementingkan loyalitas terhadap partai politik.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengkokohkan kedudukan presiden menjadi penguasa absolute dan memimpin Negara dimana sebagai kepala pemerintahan memimpin kabunet dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR. Adanya perubahan sistem pemerintahan dan di terapkan sistem politik NASAKOM menjadikan lembaga pemerintahan dan kementerian-kementerian sebagai incaran dan personifikasi kekuatan tiga partai politik yaitu PNI,NU dan PKI akibatnya terjadi polarisasi kekuatan politik dan pengkaplingan kementerian sesuai ideologi partai politik yang mendukung ide NASAKOM dimana Kementerian Luar Negeri di kuasai oleh PNI, Kementerian Agama dikuasai oleh NU/Masyumi dan Kementerian Sosial dan Perburuhan dikuasai oleh PKI.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU,PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian kabinet.
Secara garis besar birokrasi pada masa Orde Lama dapat di simpulkan bahwa birokrasi belum menemukan titik seimbang dalam regulasi dan pengelolaannya. Struktur dan hirerki jabatan tidaklah solid, adanya pengkavlingan kementerian sebagai personifikasi dari poralisasi ideologi dan kekuatan politik termasuk politisasi pada birokrasi oleh partai yang menang pemilu membuat birokrasi tidak lagi netral karena departemen departemen sudah berafiliasi dengan partai politik. Juga tak kalah penting ialah ketersediaan sumber daya manusia terdidik dan kompeten untuk menisci kebutuhan aparatur birokrasi pemerintahan Ditambah dengan kondisi internal Negara yang juga harus menghadapi berbagai pergolakan politik, pemberontakan di daerah dan meningkatnya inflasi dan kelaparan.
Semenjak kementerian telah di politisasi dan di kuasai oleh partai politik maka hierarki dan promosi jabatan di tentukan oleh seberapa loyal pegawai terhadap keanggotaan partai akibatnya para birokrat lebih cenderung mementingkan partai,kader dan golongan diatas kepentingan masyarakat.tidak adanya tranfromasi nilai dan kompentensi aparatur dalam profesionalisasi dan kinerja birokrasi menjadikan birokrasi lemah dan rentan akan praktek KKN dan manipulasi kepentingan. Silih berganti birokrasi ketika berganti partai yang berkuasa juga membuktikan bahwa birokrasi sebagai personifikasi partai politik yang mengensampingkan peñataan organisasi dan tata kerja stakeholder dalam pemantapan manajemen birokrasi.
Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan.  Selain itu peran birokrasi sebagai penyelengara urusan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat jauh dari harapan dan tujuan yang seharusnya dilaksanakan. Birokrasi terlalu sibuk mencari zona nyaman dalam bekerja dan meyakini bahwa selagi mereka loyal pada partai maka posisi mereka tak akan tergeser. Kepentingan rakyat menjadi terabaikan dan birokrasi tersandera oleh kepentingan sesaat baik dari partai politik maupun pegawai yang tak memiliki netralitas.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada Presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno “memelihara” PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebagai penampung aspirasi mereka. Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Birokrasi dalam perjalanannya sering dijadikan suatu alat bagi keberlangsungan sebuah hegemoni kekuasaan yang sedang diatas pemerintahan. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya.
Kesimpulan bahwa birokrasi pada masa ini memiliki beberapa ciri :
1.      Birokrasi masih bersifat primordialisme (kedaerahan) atau sebagai bentuk balas jasa. Jadi system dan aparat birokrasi yang dibangun bukanlah berdasarkan spesialisasi kompetensi yang dimiliki namun lebih cenderung faktor kedekatan dan loyalitas pada Republik saat itu.
2.      Terjadinya ketidaknetralan birokrasi dalam penyelenggaraan tugas, wewenang dan fungsinya. Ini dapat dilihat dengan berafiliasinya beberapa Kementerian di pemerintahan terhadap salah satu partai politik yang berkuasa masa itu.
3.      Aparatur birokrasi masih belum sesuai kualifikasi, spesialisasi dan kompetensi yang seharusnya dimiliki seorang birokrat. Ini disebabkan keadaan kurangnya ketersediaan sumber daya manusia yang terdidik lagi kompeten dan tentunya tidak dianggap sebagai antek-kolonial.
4.      Pengangkatan dan penempatan pegawai dalam birokrasi tidak berdasarkan sistem jenjang kepangkatan/karier yang jelas, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya. Ini sebagai dampak dari berafiliasinya dan dikuasainya birokrasi Kementerian oleh partai politik.
5.      Dampak dari sistem pemerintahan parlementer dan terpimpin telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat Menteri yang berkuasa.
6.      Para birokrat pada masa ini tidak lagi melaksanakan tugas sebagai aparatur negara dalam melayani masyarakat. Ini karena adanya dualisme kepentingan dan jabatan antara pemerintah dan partai politik membuat birokrat lebih mementingkan partai dan golongan dari pada masyarakat dalam menjalankan birokrasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 PUPUH SUNDA : GURU LAGU JEUNG GURU WILANGAN

DINAMIKA ORGANISASI

SOAL-SOAL PENDIDIKAN PANCASILA