HUBUNGAN ELIT POLITIK DAN MASYARAKAT
PEMBAHASAN
Dalam
proses demokrasi, artikulasi dan agregasi kepentingan konstituen merupakan
proses politik yang paling mendasar. Artikulasi dapat dijadikan jembatan antara
warga/konstituen dengan sistem kerja-kerja legislative dan pemerintah, sebagai pembuat
kebijakan publik. Pendekatan
artikulasi oleh DPR dapat dilakukan berdasarkan teori partisipasi dan
demokrasi, terutama jika dilihat dari sisi aktor yang memainkan peranan
dominan.
Agregasi
aspirasi merupakan tahapan yang kompleks dan kritis, mengingat agregasi bukan
hanya menampung atau menyalurkan aspirasi, tetapi juga harus membuat pilahan
maupun mengelola konflik aspirasi yang kompleks dan saling bertentangan. Dalam
teori politik, terdapat proses konversi yang mengolah input (aspirasi) menjadi output dalam bentuk kebijakan. Karena
itu proses dan hasil kebijakan sebenarnya merupakan tujuanutama bagi artikulasi
dan agregasi kepentingan. Oleh karena itu, proses kebijakan merupakan arena
dari artikulasi dan agregasi kebijakan.
Perlu
diingat, aspirasi masyarakat
sebaiknya diprioritaskan pada aspirasi berdampak langsung bagi kebaikan
bersama. Pada umumnya bentuk aspirasi ini mengenai masalah-masalah bersama. Sebagai
anggota DPR, menghormati dan melindungi hak-hak dasar warga negara
merupakan syarat mutlak untuk dapat mempunyai hubungan harmonis dengan
konstituennya. Praktik
politik yang terjadipun, seringkali menjebak Dewan pada wacana sulit untuk
membedakan antara artikulasi aspirasi rakyat (konstituen) versus opini publik
dari sekelompok elit warga atau pengamat politik.
Pada
kondisi ini anggota Dewan akan dihadapkan pada aspirasi yang begitu banyak dan
dari berbagai segmen dalam wilayah utama atau fokus
area, terutama apabila pada masa kampanye pemilihan sebelumnya, telah banyak
janji-janji politik antara partai yang menaunginya dengan pemilih. Disinilah
agregasi aspirasi berperan sebagai tahapan yang kompleks dan kritis, bukan
hanya menampung atau menyalurkan aspirasi, tetapi harus membuat pilihan maupun
mengelola konflik yang ditimbulkan akibat adanya pertentangan atau perbedaan
antar segmen.
2.1 DEFINISI MASYARAKAT DAN ELIT
Masyarakat diartikan
secara umum sebagai kelompok orang yang memiliki hubungan antar individu melalui hubungan yang tetap,
atau kelompok sosial yang besar yang berbagi wilayah dan subjek yang sama
kepada otoritas dan budaya yang sama. Masyarakat (terjemahan
istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di
mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam
kelompok tersebut.
Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab,
musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung
satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok
orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani,
sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki
pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan
tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata
pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada :
masyarakat tradisional,
masyarakat ambivalen dan masyarakat modern. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok
masyarakat yang terpisah dari masyarakat
agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan
berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar,
terdapat masyarakat etnis, suku, bangsa, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa Latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan
dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berartiteman,
sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit,
kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan
kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang proses terbentuknya masyarakat sekaligus
problem-problem yang ada sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau
bergeser kita memerlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu
untuk menganalisaproses terbentuk dan tergesernya masyarakat dan kebudayaan
serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik
sosial (social dynamic). Konsep-konsep penting tersebut antara lain : Internalisasi (internalization), Sosialisasi (socialization) dan Enkulturasi
(enculturation).
Elit berasal dari
kata dalam bahasa Latin
eligere, memilih, mengacu pada suatu golongan atau lapisan yang paling berpengaruh
atau paling mempunyai nama baik dalam masyarakat. Status pilihan ini biasanya
diperoleh atas dasar watak yang ditampilkannya atau prestasi hasil karya perjuangan dan atau kinerja yang
terlihat. Elite juga dapat diartikan sebagai lapisan tertinggi dalam
kemampuan di bidang tertentu.
Golongan ini terdiri atas orang yang
diakui sangat menonjol dan dianggap sebagai pemimpin di bidangnya. Dengan
demikian ada golongan elite politik, elite seniman, elite ilmuwan, dan
sebagainya. Para anggota golongan elite umumnya mempunyai pengaruh penting dalam
membentuk dan mempengaruhi
nilai dan sikap yang dianut masyarakat dalam bidang
masing-masing.
Istilah “elite” digunakan pada abad
ke-17 untuk menyebut barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus. Kemudian
istilah itu digunakan juga untuk menyebut kelompok sosial tinggi,
seperti kesatuan militer yang utama atau kalangan bangsawan atas. Kata “Elite” Di beberapa referensi baik
berupa buku, majalah, koran, kita sering
menjumpai kata elite. Secara etimologi, istilah
elite berasal dari kata latin eligere yang berarti
memilih.
Pada
abad ke 14, istilah ini berkembang
menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan).
Kemudian pada abad ke 15, dipakai
untuk menyebutkan best of the
best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya
pada abad ke 18, dipakai dalam bahasa Perancis untuk
menyebut sekelompok orang yang
memegang posisi terkemuka dalam
suatu masyarakat. Sementara itu, Amitai Etzioni mendefinisikan
elite sebagai kelompok aktor
yang mempunyai kekuasaan.
Menurut Oxford English Dictionary, istilah elite
digunakan dalam bahasa Inggris paling awal pada tahun
1823, dan kemudian mulai tersebar secara luas melalui
teori-teori sosiologi tentang kelompok- kelompok
elite, terutama dari hasil pemikiran Pareto.
Dalam perkembangan selanjutnya,
menurut Bottomore, istilah
elite secara umum digunakan untuk menyebut
kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki
status tinggi dalam suatu masyarakat.
Pada
awalnya teori elit politik lahir dari diskusi seru
dari para ilmuwa Amerika
Serikat (AS) antara
Joseph A. Schumpter (1883-1950),
Imperialism And Social Clasess
(ekonom), Harold D laswell, Daniel Lerner dan
C.E. Rothwell, The Comparative Study Of Elites (ilmuwan
politik) dan C. Wright Mills, The
Power Elite, yang melacak
tulisan-tulisan dari para pemikir eropa pada masa awal
munculnya fasisme, khuhsusnya Villfredo Pareto (1848-1923)
dan Gaetano Mosca (1858-1941),
Roberto Michells (1876-1936)
dan Jose Ortega Y. Gesset percaya bahwa setiap
masyarakat dipeintah oleh sekelompok kecil orang
yang mempunyai kualitas-kualitas yang di perlukan bagi
kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan
politik yang penuh.
Mereka
yang mampu menjangkau pusat kekuasaan adalah
selalu merupan yang terbaik. Mereka adalah
yang disebut dengan atau sebagai istilah elit. Ellite, merupakan
orang-orang yang berhasil yang
mampu menduduki jabatan-jabatan
tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu
muncul pandangan Villfredo Pareto, maasyarakat terbagi
atas dua kelas yaitu (a). Lapisan atas, yaitu
elit yang terbagi kedalam elit yang
memerintah (governing elite)
dan elit yang tidak memerintah (non-goverming elite),
(b). Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.
Dalam menelaah pergantian kekuasaan, berdasarkan pengalaman sejarah,
Pareto membedakan dua tipe elite. Yang pertama disebutnya dengan istilah
spekulator, yaitu elite yang perilakunya dilandasi oleh “naluri kombinasi”.
Mereka ini adalah manipulator sekaligus perencana dan pembaharu. Tipe kedua
disebut rentier, yang perilakunya dilandasi oleh apa yang dinamakan “naluri mempertahankan kelompok”. Mereka ini berkuasa, bersifat
konservatif, dan keras kepala. Sejarah masyarakat manusia ditandai oleh pergantian
kekuasaan antara dua tipe elite ini, yang disebut circulation of elite. Kekuasaan lama selalu ditumbangkan oleh elite
dari tipe yang berlawanan. Tetapi setelah spekulator menjadi penguasa baru,
mereka cenderung berubah sifatnya menjadi rentier, yang pada gilirannya akan
ditumbangkan lagi oleh elite tipe lawannya.
2.2
KLASIFIKASI ELIT
Di
dalam masyarakat pada umumnya memilki kelas-kelas sosial tertentu dimana diantara masyarakat tersebut dibagi
dalam golongan atas,
menengah dan kelas bawah. Serta disamping
itu ada juga yang menggolongkan kelas
sosial masyarakat atas kelas yang diperintah
dan kelas yang memerintah. Kelas yang
memerintah inilah yang disebut oleh
sebagian
para ahli ilmu sosial dengan istilah
elit.
Dimana
elit merupakan kelas sosial yang dianggap
sebagai kelas sosial yang cukup tinggi
di dalam masyarakat dan hanya bisa
dimasuki
oleh segolongan orang yang memilki
kemampuan
yang lebih dibandingakan orang lainya
karena cenderung eksklusif dan tertutup untuk bisa dijangkau oleh kelas masyarakat biasa yang ingin menjadi elit.
Istilah
“elit”, dipakai di Perancis
pada abad yang
XVII untuk mendeskripsikan
sesuatu yang bagus
sekali, dan beberapa waktu kemudian
diaplikasikan
ke dalam kelompok sosial yang unggul
dalam beberapa hal, akan tetapi istilah ini tidak dipakai secara luas dalam pemikiran sosial dan politik sebelum abad
XIX, ketika seperti
disinggung diatas, istilah ini mulai
masuk
dengan melalui teori elit sosiologis yang diajukan oleh Villfredo Pareto.
Masyarakat menurut Mosca
terbagi dalam 2 kelas yang berbeda peran dan fungsinya secara sosial
yaitu masyarakat elit dan non elit. Masyarakat elit sendiri terdiri dari dari
masyarakat elit politik dan elit penguasa.
Mosca memandang masyarakat menjadi dua kelas. Kelas elit adalah kelompok
kecil penguasa yang mampu memonopoli kekuasaan dan menjalankan sistem politik.
Kelas ini memiliki kewenangan besar dalam sistem politik. Secara umum elit politik adalah orang tertentu yang berkuasa dan mengemban tugas dengan
kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Elit menurut
Laswell meliputi seluruh pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Elit
politik terdiri dari mereka yang mencapai kedudukan, kekuasaan, kekayaan dan
kehormatan. Laswell mendefinisikan elit tanpa memilahnya sebagai elit politik
dan elit penguasa. Elit Politik
menurut Teoritikus Politik adalah orang-orang yang memiliki jabatan dalam
sistem politik. Mills memandang elit sebagai orang yang menduduki posisi
komando sehingga dapat mengambil keputusan yang berakibat kepada seluruh
masyarakat.
Klasifikasi Golongan Elite yang memberikan pengaruh terhadap usaha pembangunan dan proses politik dalam
suatu sistem Negara adalah :
1. Elite
Politik
2. Elite
Administrasi
3. Elite
Cendekiawan
4. Elite
Dunia Usaha
5. Elite
Militer
6. Elite
Pembinaan pendapat
(Sumber :
Bintoro Tjokroamidjojo, Mirrian Syofian, Muchtar Machmud, Administrasi Pembangunan. Penerbit Karunia. Jakarta).
Elite Politik adalah kelompok yang memperoleh pengesahan mengenai
kehendak politik bangsa serta politik pembangunan di mana ditentukan arahyang
akan dijalankan dalam pembangunan bangsa oleh pemerintah.
Elite Administrasi adalah
sekelompok orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk terlibat
pula perumusan kehendak politik. Tugas Elite
Administrasi ialah untuk
menterjemahkan keinginan-keinginan politik menjadi kebijaksanaan, rencana dan
program-program pembangunan.
Elite Cendekiawan adalah
sekelompok orang yang memiliki nilai-nilai dna kompetensi secara akademis di
bidang-bidang keilmuan yang memeiliki peran memberikan pencerahan dan informasi
kepada publik. Elit ini akan berpengaruh dalam masyarakat sangat
tergantung kepada pemikiran-pemikiran
yang berorientasi kepada kebijaksanaan serta program-program pembaharuan atau
pembangunan atau hubungannya dengan elite-elite lain.
Elite Dunia Usaha merupakan
elite yang menguasai, memiliki
dan mengelola sumber-sumber ekonomi. Elite ini sangat berorientasi
kepada profit, kepentingan
usaha, kemudahan investasi dan yang terpenting adalah peran dalam memuluskan kepentingannya
sendiri.
Elite Militer, merupakan elite yang semakin mempunyai peranan yang besar
sekali dengan mendapat otoritas pelaksanaan
kebijaksanaan atau program serta stabilitas dan kontinuitas pembangunan pertahanan dan keamanan.
Kelompok ini telah mendapat legitimasi dari masyarakat dalam kewenangan yang melekat padanya.
Elite Pembinaan Pendapat merupakan
suatu kelompok yang tugas sehari-harinya menjadi penyalur informasi, pembentuk pendapat
masyarakat (public opinion) dan peningkatan kesadaran
masyarakat tentang hak dan kewajiban. Kelompok ini dapat menjadi pencetus
pembaharuan, penggerak
masyarakat, penyalur pemikiran dan pendapat, juga dapat menjadi pengawas sosial terhadap jalannya proses
politik dan proses pembangunan.
2.3 METODE PENENTUAN DAN TIPE ELIT POLITIK
Untuk
mengidentifikasi siapa yang termasuk dalam
kategori elit politik
dapat dilihat dari pendekatan beberapa metode yakni :
1. Metode Posisi
Elit
politik adalah mereka yang menduduki posisi
atau jabatan strategis dalam sistem
politik. Jabatan strategis
yaitu dapat membuat keputusan dan kebijakan dan dinyatakan
atas nama Negara. Elit ini jumlahnya ratusan mencakup
para pemegang jabatan tinggi dalam
pemerintahan, perpol, kelompok
kepentingan. Para elit politik ini setiap hari
membuat keputusan penting untuk melayani
berjuta-juta rakyat.
2. Metode Reputasi
Elit
politik ditentukan bedasarkan reputasi dan kemampuan
dalam memproses berbagai
permasalahan dan kemudian
dirumuskan menjadi keputusan politik yang
berdampak pada kehidupan masyarakat.
3. Metode Pengaruh
Elit
politik adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh
pada berbagai tingkatan kekuasaan.
Orang ini memiliki kemampuan
dalam mengendalikan masyarakat sesuai kemampuan pengaruh
yang dimiliki, sehingga masyarakat
secara spontan mentaati para
elit politik. Oleh karena itu orang yang berpengaruh dalam masyarakat
dapat dikategorikan sebagai elit
politik.
Ketiga
metode penentuan elit tersebut diakui dan
dianut oleh berbagai Negara. Namun ada negara
yang dominan menggunakan metode
posisi atau metode reputasi.
Disamping itu ada juga Negara yang mengkombinasikan
ketiga metode tersebut untuk memperoleh hasil
yang sesuai dalam mengkategorikan mereka yang tergolong
sebagai elit politik.
Beberapa
ahli telah menyampaikan tipe-tipe elite politik. Diantaranya menurut Machiavelli ada dua tipe elit
politik dalam memerintah.
1. Elit politik yang memerintah dengan kelicikan
2. Elit politik yang memerintah dengan
cara paksa.
Menurut
Villfredo Pareto, elit terbagi atas dua:
1.
Governing elit/
elite pemerintah
2.
Non Governing elit/
elite non-pemerintah
Sekelompok
orang yang mempunyai bakat yang
menonjol dalam kegiatan bidang
tertentu dalam hal ini bidang politik. Analisa
pareto didasarkan dari sudut psikologi, bahwa
ada sifat elit yang menonjol, sifat menonjol itu disebut residu. Untuk
Pareto, Residu diartikan
sebagai suatu manifestasi dari
perasaan orang-orang yang menonjolkan diri dalam bentuk- bentuk
kegiatan. Tipe
residu menurut Pareto antara lain adalah :
1. Residu of Combination
Yaitu manifestasi yang
mempunyai indikasi adanya intelegensia
ketajaman berfikir dan penggunaan
akal rasional. Tipe ini bercirikan;
memerintah dengan cara rasional
dan intelegensia tinggi walaupun kadang-kadang dengan
tipu muslihat yang licik. Tipe ini tidak mempunyai
kekuatan sehingga pada saat
diperlukan kekuatan atau
kekerasan maka elit ini akan jatuh.
2. Residu of Agregation
Merupakan suatu bentuk
manifestasi yang mewujudkan atau menonjolkan kekerasan,
sifat patriotis dan konservatif. Tipe
ini bercirikan selalu menonjolkan
kekerasan dan ancaman, tetapi
tidak berarti elit ini tidak akan jatuh, justru dengan
kekerasan biasanya mereka akan memancing
timbulnya revolusi-revolusi baru.
Menurut Pareto kombinasi kedua
tipe tersebut merupakan yang terbaik, karena menurut elit yang ragu-ragu menggunakan
kekerasan akan menjadi lemah tetapi sebaliknya
elit yang selalu menggunakan kekerasan akan memancing
timbulnya pergantian elit secara
revolusioner. Supaya tidak
terjadi pergolakan dan instabilitas didalam pergantian
elit menurut pareto maka perlu diadakan sirkulasi
elit.
Tipe elit
politik dalam memerintah
dibagi menjadi :
1. Elit Politik yang memerintah dengan kelicikan.
Para
elit politik berupaya untuk
mengabsahkan atau merasionalkan
kekuasaan elit politik dengan menggunakan cara penyerapan
atau derivasi (derivation). Derivasi (derivation)
Yaitu suatu usaha mempertahankan
elit dengan menggunakan akal
rasional yang sifatnya sengaja membenarkan tindakan – tindakan
elit dengan isu-isu tertentu kalau perlu dengan
isapan jempol.
2. Elit Politik yang memerintah dengan cara
paksa
Elit
politik yang memerintah dengan cara paksa kebanyakan
terdapat di Negara-negara yang
menganut sistem politik komunis
atau sistem politik otoriter. Para elit politik
atau elit berkuasa menggunakan kekuasaan sebagai
alat untuk mewujudkan keinginan dan kepentingan politik.
Di Negara-negara yang menganut
sistem politik komunis para
elit politik menggunakan cara paksa untuk memerintah masyarakat
dalam berbagai segi kehidupan.
Sehingga rakyat atau masyarakat
yang dikuasai tidak memilki kebebasan untuk
menentukan cara hidup menurut keinginan individu
atau warganegara.
3. Elit Politik konservatif
Elit berusaha
mempertahankan kekusaannya
denga berorientasi pada
kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Untuk mempertahankan
kepentingan pribadi mereka elit
cenderung mempertahankan keadaan politik yang
sedang mereka kuasai. Segala aturan yang ada dijalankan
menurut kehendak elit penguasa yang ada,
sehingga tidak memberi peluang kepada pihak lain
untuk mengendalikan atau mempengaruhi elit politik yang
sedang berkuasa.
4. Elit Politik liberal
Sikap
elit cenderung berorientasi pada
kepentingan rakyat umum dan
elit politik selalu bersikap tanggap dan peduli terhadap
berbagai tanggapan dan tuntutan masyarakat.
Sikap elit politik ini membuka kesempatan yang
seluas- luasnya pada setiap anggota masyarakat
untuk meningkatkan taraf hidup dan mengaktualisasi diri
untuk mampu memenuhi kehidupan
menurut mekanisme sistem
politik yang ada.
Orientasi
para elit politik liberal yaitu berupaya untuk
membina dan memberi kebebasan
anggota masyarakat atau warga
Negara untuk meningkatkan
status sosial. Dalam hal ini individu
atau warganegara dibebaskan menurut
aturan atau perundang-undangan
Negara. Untuk itu warganegara secara bebas
meyampaikan berbagai kepentingan sesuai dengan
kehendak warganegara yang bersangkutan. Elit
politik liberal bertindak secara demokratis untuk
menghargai hak-hak warganegara dan
terbuka terhadap berbagai
golongan. Kolaborasi diantara diantara para elit
politik untuk mempertahankan kekuasaan tidak dibenarkan.
2.4 REALITA HUBUNGAN ELIT POLITIK DENGAN MASYARAKAT
Pada dasarnya mekanisme hubungan partai politik dengan masyarakat
sederhana : partai politik
membutuhkan suara pemilih dalam pemilu umum. Maka dari itu, partai politik
terpaksa harus memperhatikan keinginan para pemilih sebelum mengambil keputusan
mengenai program dan kebijakan partai. Artinya, politisi harus mencari
informasi tentang kesulitan dan masalah yang sedang dihadapi masyarakat serta
kepentingan dan preferensi pemilih.
Kemudian partai dapat menawarkan suatu program politik yang membicarakan
persoalan-persoalan yang aktual. Dalam kompetisi multi-partai, yang dibutuhkan
partai politik adalah responsiveness; kemampuan untuk mendengar dan menjawab.
Tanpa mekanisme pengelolaan hubungan dengan masyarakat yang responsif partai
politik tidak dapat memaksimalkan hasil di dalam pemilu. Pengelolaan hubungan dengan masyarakat juga penting bagi keberlangsungan dan survival
partai politik sebagai organisasi sosial.
Seluruh organisasi berusaha untuk menstabilkan dan mengontrol
lingkungannya. Lingkungan yang sangat sentral bagi partai politik adalah
konstituennya. Hubungan dan komunikasi dengan masyarakat yang konsisten dan dua
arah dapat merupakan stabilisator bagi partai, sebab pemilih merasa lebih akrab
dan terikat pada partai dan akan memberikan kontribusi kepadanya. Maka dari
itu, partai politik harus berusaha membangun hubungan dengan konstituen yang
stabil dan berjangka panjang.
Agar hubungan dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola dengan baik
partai harus mengembangkan pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan
membangun infrastruktur dan
struktur partai dulu. Ideologi dan
nilai-nilai merupakan pondasi hubungan partai politik dengan konstituen. Lebih
lanjut ada tiga pilar, yaitu sumber daya manusia, prosedur dan mekanisme
internal partai, dan sumber daya finansial. Partai harus membangun ideologi
sebagai landasan pemikiran dan program partai.
Kalau ada ideologi dan nilai-nilai yang jelas, partai dapat
mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kurang lebih satu
kesamaan dengan ideologi yang mau dikembangkan partai tersebut. Baru setelah itu dilakukan
pengorganisasian. Kemudian pengembangan program dapat dijalankan. Ideologi dan
nilai-nilai dihadapkan pada semua masalah untuk mengembangkan tawaran solusi
atas masalah-masalah, baik masalah ekonomi, sosial, antar agama, dll. Ini yang
akan membuat ideologi secara terus menerus applied atau hidup. Ini menjadi
siklus, sehingga ini menjadi gerak spiral ke atas.
Masalah-masalah hubungan partai dengan konstituen di Indonesia
antara lain :
1. Lemahnya
pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, sehingga ketika timbul suatu
persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu
dengan yang lainnya dalam menyelesaikan masalah tsb. Padahal ketika ideologi
menjadi suatu sistem nilai, ini seharusnya berdampak pada cara berpikir dan
menyelesaikan persoalan. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi
pragmatis. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis
juga dan punya kecenderungan memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uangnya
dan sumbangannya.
2. Hubungan
partai dengan konstituen sudah terjebak pada pola hubungan
jual-beli/transaksional antara buyer dan
seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat
uang, sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dll. Hal ini dilestarikan oleh hubungan
anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik
sejenispasca Pemilu. Alih-alih membuat desain keputusan politik yang merupakan
terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak
untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya
tinggi.
3. Belum
terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, dimana
parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentintingan
komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika pada Pemilu partai A mendapat,
katakanlah 1 juta suara, mereka tidak tahu suara itu berasal dari mana, karena
infrastrukturnya belum terbangun.Suara dalam Pemilu sendiri seyogyanya merupakan
konsekuensi logis dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama
dalam komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
4. Parpol
menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai
konstituen sebagai pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat
mobilisasi, tatkala instrument partai membutuhkan untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai sub-ordinat untuk
memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.
Hubungan konstituen harus ditandai dengan :
1.
Wajah politik yang padat dengan ide-ide dan
upaya kongkrit yang lebih mensejahterakan rakyat plus nilai-nilai keadilan bagi
masyarakat.
2.
Orientasi politik ke Grass roots, dimana ide-ide
politik harus lebih mendominasi
dibandingkan dengan manuver politik yang hanya berorientasi untuk membangun
kekuasaan belaka.
3.
Kemampuan untuk merespon konstituen. Partai politik harus mampu
mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari masyarakat.
Disamping itu, partai politik harus tahu apa kebutuhan dan keinginan
masyarakat, yang kemudian dipakai sebagai dasar untuk menyusun program partai.
4.
Penggunaan Media. Partai politik harus mampu
berkomunikasi langsung dengan konstituen melalui tatap muka. Komunikasi melalui
organisasi-organisasi yang berfungsi sebagai mediator, seperti Serikat Buruh,
Serikat Tani, Organisasi Pemuda, Organisasi Perempuan Dan lain-lain. Selain itu, juga dibangun
komunikasi melalui media massa :
Koran dan majalah, radio, TV,
internet dengan website, email dan telefon. Dan juga yang tidak kalah
pentingnya komunikasi dengan menggunakan media riset, polling dan survey.
5.
Berkelanjutan dan kontinuitas. Komunikasi dengan konstituen tidak
dilakukan hanya ketika akan ada pemilu saja, melainkan diadakan secara terus
menerus, sistematis dan berkelanjutan. Sehingga irama kerja partai tidak
melonjak-lonjak sekaligus dapat menghemat banyak resoursis partai, seperti
tenaga dan finansial. Dengan pola komunikasi tersebut, maka konstituen dapat
lebih mudah memahami partai politik dan politisi pilihannya.
6.
Kapabilitas dan kreativitasPartai harus
mempunyai kemampuan untuk membangun pola, metode dan pendekatan komunikasi yang
kreatif. Artinya, tidak bisa membuat standar komunikasi yang diterapkan di
semua tempat dan untuksemua orang. Partai harus lebih kreatif untuk membangun
komunikasi yang membuat konstituen dapat merasa nyaman, aman dan mantap bersama
partai. Meningkatkan komunikasi yang sudah eksis di masyarakat
(kelompok-kelompok strategis).
7.
Pembangunan infrastruktur yang merupakan satu usaha untuk
memudahkan partai politik memahami siapa sesungguhnya yang
menjadi pemilih partai dan sekaligus dapat dipakai untuk menjawab aspirasi
masyarakat pada umumnya dan pemilih khususnya. Infrastruktur yang memungkinkan
sinergisitas antar aktor kunci partai baik yang di struktural, legislatif,
eksekutif maupun kader.
8.
Peraturan Partai. Dengan peraturan ini, maka tidak ada
alasan lain bagi politisi, pengurus dan aktivis partai untuk menghindar bagi
terbangunya komunikasi imbal balik dan saling menguntungkan antara partai
dengan masyarakat pada umumnya dan pemilih khususnya.
9.
Sayap partai. Pembangunan sayap partai merupakan jembatan yang paling baik
untuk membangun komunikasi dengan masyarakat pada umumnya dan pemilih
khususnya. Sayap partai juga berguna untuk mengintensifkan hubungan sektoral
dengan masyarakat dan terutama dengan pemilih. Sayap partai juga berguna
sebagai filter partai untuk beberapa isu sektoral.
10. Identifikasi
personal. Partai harus
mempu mengidentifikasikan siapa anggotapartai, siapa pemilihnya dan dimana
masih ada potensi untuk baik menjadi anggota maupun pemilih. Identifikasi
personal dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan bentuk-bentuk komunikasi.
11. Sekretariat
di daerah pemilihan. Pembuatan
sekretariat di daerah pemilihan oleh tiap-tiap politisi dapat dipakai sebagai
jembatan komunikasi dan sekaligus memelihara hubungan yang terus menerus dengan
masyarakat terutama dengan pemilih. Skretariat ini sebaiknya juga dikaitkan
dengan struktur partainya sendiri di daerah pemilihan. Sekretariat tidak hanya
melayani pemilih saja, melainkan juga seluruh masyarakat yang ada di daerah
pemilihan tersebut.
Komentar
Posting Komentar