SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU



SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU


5.1    Pendahuluan
Sistem demokrasi yang merupakan artikulasi pemikiran politik masyarakat modern memberikan perhatian yang seksama terhadap akses rakyat terhadap sumber-sumber kekuasaan. Walaupun demikian, memang pada akhirnya tidak setiap orang dapat melakukan akses yang sama terhadap sumber kekuasaan tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, pemikiran mengenai demokrasi perwakilan (representative democracy) menjadi wacana utama dalam menata dan membangun masyarakat demokrasi modern.
Pada saat berbicara demokrasi perwakilan, maka perihal kehadiran partai politik dan sistem pemilu menjadi penting untuk dibicarakan. Sebagaimana dipahami bersama, partai politik merupakan organisasi kepentingan yang terlembagakan dan permanen dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Sementara Pemilu merupakan sarana demokrasi langsung dalam menyalurkan kepentingan publik.

5.2    Sistem Kepartaian
Menurut Carl J. Friedrich  partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil.
Sementara R.H. Soltou mengartikan partai politik sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka. Kemudian  Sigmund Neuman mengartikan partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diidentifikasi bahwa partai berbeda dengan gerakan sosial. Suatu gerakan merupakan suatu kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang ingin menciptakan suatu tatanan masyarakat yang baru sama sekali. Cara yang mereka gunakan, bisa jadi merupakan sebuah cara-cara politik. Namun bila ditelaah secara seksama, ada perbedaan nyata antara gerakan sosial dengan partai politik.
Partai politik pun dapat dibedakan dari kelompok penekan atau istilah yang lebih bayak dipakai dewasa ini yaitu kelompok kepentingan. Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan suatu ”kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan memiliki orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang karena mewakili perbagai golongan lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum.
Kehadiran partai politik dalam konteks pemerintahan, menunjukkan fenomena yang menarik. Komunikasi dan interaksi partai politik ini kemudian meningkatkan minat pengamat untuk membincangkan masalah sistem kepartaian. Dengan kata lain, yang dimaksud sistem kepartaian adalah interaksi antara partai satu dengan partai yang lainnya. Perilaku politik seperti ini merupakan satu konsekuensi logis dari adanya kepentingan yang sama antar partai untuk memperebutkan akses ke sumber-sumber kekuasaan. dalam konteks kompetisi politik, maka antara satu partai dengan partai lain akan melakukan pola interaksi dan komunikasi tersebut. Dalam konteks inilah kemudian muncul konsep politik yang terkait dengan sistem kepartaian.
Maurice Duverger (1967:207) memberikan arahan mengenai sistem kepartaian yang muncul dan berkembang saat itu. Sistem kepartaian yang dimaksudkannya itu adalah one party system (sistem satu partai), two party system (sistem dua partai) serta multy party system (sistem banyak partai). Kategorisasi sistem kepartaian berdasarkan jumlah parta dikemukakan pula oleh Rokkan (1968)  yang kemudian berkembang pada variabel distribusi kekuatan minoritas dalam partai (distribution of minority party strength).
Dalam menjelaskan sistem partai, tidak cukup hanya memperhitungkan jumlah partai yang eksis dalam dinamika politik sebuah bangsa. Masalah jumlah partai politik merupakan hal penting, namun ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Dalam konteks ini, Giovanni Sartori (1976) mengutarakan bahwa jarak idiologis antar partai dalam sistem itu menjadi sangat penting artinya untuk memahami perilaku partai politik. Dengan adanya jarak ideologi antar partai ini menyebebkan munculnya polirasisasi khusus mengenai partai politik (Surbakti, 1992:127).  Berdasarkan pertimbangan ini dia mengelompokkan sistem kepartaian ke dalam tiga kelompok yaitu  (1) predominant-party system; (2) moderate pluralism sistem; serta (3) polarized pluralism sistem.
Predominant party system  adalah sistem kepartaian yang menggambarkan kurang adanya perbedaan ideologi yang tajam antara partai-partai yang berinteraksi, atau bahkan dapat dikatakan tidak ada perbedaan pandangan ideologis. sehingga yang terbangun adalah partai politik yang memilki perspektif fungsi (dominan). Sistem predominant partai menyediakan kesempatan bagi banyak partai yang hendak berkompetisi dalam pemilihan umum, namun karena tidak ada perbedaan ideologis yang berarti, maka partai pemenang dalam pemilihan umum akan tetap mengakomodir partai yang lainnya. Sehingga pada akhirnya dalam sistem ini lebih mengutamakan konsensus politik dibandingkan dengan kepentingan ideologis. Oleh karena itu dalam sistem seperti ini, sistem politik yang ada cenderung bersifat mempertahankan status-quo.
Berbeda dengan sistem yang pertama, dalam moderate pluralism sistem tersedia ruang untuk lebih dari dua partai bisa berkompetisi dalam pemilihan umum. Kelebihan sistem ini dibandingkan predominant party system yaitu adanya polaritas ideologi walaupun relatif masih sedikit. Terkahir, yaitu sistem kepartaian dengan polariasasi yang tegas dan jelas (polarized pluralism sistem). Sistem kepartaian seperti ini pada umumnya berkembang di negara majemuk (pluralis) secara kultural, sehingga muncul banyak partai. Dalam konteks sistem kepartaian seperti ini, potensial terjadi pertentangan antara partai politik yang satu dengan partai politik yang lainnya. Oleh karena itu, sistem kepartaian polarized pluralism  mempunyai tendensi konsensus yang rendah, bahkan pada titik ekstrimnya potensial memicu perpecahan politik (sentrifugal).

Sistem Kepartaian Menurut Sartori

Sistem Kepartaian
Kutub Idiologi
Polaritas
Arah
Pluralisme sederhana
Bipolar
Tidak ada
Sentrifugal
Pluralisme moderat
Bipolar
Kecil
Sentripetal
Pluralisme ekstrim
Multipolar

Besar
sentrifugal
Lihat : Ramlan Surbakti, 1992: 127.

Berbeda dengan teori Duverger, pada bukunya Political Parties: Theirs Organization and Activities in Modern State; Robert Dahl (1966) mengidentifikasi sistem kepartaian atas dasar tingkat kompetisi dan oposisi partai dalam sistem politik, bukan dari aspek jumlah partai politik. Dengan sudut pandang ini, sistem kepartaian dikelompokkan menjadi empat, yaitu  (1) persaingan penuh; (2) kerja sama dalam sistem kompetitif, (3) bergabung dalam sistem kompetitif,  dan (4)  bergabung sepenuhnya.
Dengan memahami teori sistem kepartaian dari beberapa ahli tersebut, dapat dilakukan eksperimen pemilahan dengan menggunakan perpaduan antara pandangan tersebut. Melalui pendekatan seperti ini, maka sistem kepartaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Pertama, sistem satu partai. Istilah sistem partai tunggal merupakan satu konsep yang contradictio in terminis (Mirriam Budiarjo, 1992:167). Maka sistem tunggal merupakan kata paradok, sebab konsep ’sistem’ mempersyaratkan ada beberapa bagian yang memadu dalam sebuah kerangka sistem. Oleh karena itu, sistem satu partai atau sistem partai tunggal tidaklah layak disebut sebagai sistem, dan lebih tepat disebut bentuk kepartaian tunggal.
Bentuk partai tunggal mirip dengan sistem politik komunis atau totaliter.  Dalam sistem politik seperti ini, kehadiran dan peran partai dikooptasi oleh  elit penguasa. Para penguasa tidak berharap ada dan muncul pemikiran atau pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Oleh karena itu, bentuk partai tunggal merupakan model yang efektif untuk pemerintah melakukan kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas politik masyarakatnya.
Menurut Marcuse (1974) mengatakan bahwa dalam sistem politik totaliter rezim berkuasa berusaha membangun bentuk-bentuk kontrol yang baru. Bentuk-bentuk kontrol baru tersebut dapat berupa keputusan politik yang berperspektif elit atau penguasa, lingkungan politik yang digerakkan oleh keinginan-keinginan elit dan bukan kebutuhan publik dan seterusnya.
Pada lingkungan masyarakat teknokratis, totalitas perilaku hidupnya baik dalam konteks berpikir maupun bertindak senantiasa diproduksi dan bahkan direproduksi oleh penguasa. Para penguasa berusaha keras untuk menciptakan sistem dan kerangka yang relevan dengan kepentingan politisnya sendiri. Oleh karena itu, rezim penguasa memaksa aparatur atau perangkat negara serta publik untuk menunjukkan perilaku dan cara pandang yang sesuai dengan penguasa.
Dengan munculnya masyarakat teknokratis yang diproduki rezim penguasa, maka tertutuplah ruang-ruang politik. Semesta politik yang tertutup menjadi penyebab awal terkuburnya ruang tawar-menawar antara elit dan publik. Tertutupnya semesta polilik merupakan salah satu  bentuk pemantapan dan penahanan kekuasaan demi rezim yang tengah  berkuasa. Oleh karena itu, sistem politik seperti ini cenderung totaliter. Sistem partai tunggal pun menyebabkan desublimasi represi negara. Perundangan yang dihasilkan dari sistem politik yang tidak membuka ruang bagi tawar-menawar tentu saja melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang berorientasi pada kebutuhan penguasa.  Dengan demikian, ketika ada kelompok-kelompok masyarakat yang berusaha mempertanyakan kebijakan-kebijakan publik atau keputusan-keputusan politik, maka sistem politik yang totaliter akan dengan mudah melakukan represi yang sublim. Represi sublim tersebut tentu saja berbentuk kebijakan-kebijakan itu sendiri. Khususnya kebijakan-kebijakan yang menerapkan keinginan publik untuk melakukan kontrol dan pengawasan pada penguasa. Sehingga, dampak  akhir yang memungkinkan terjadi pada masyarakat ini yaitu hilangnya fungsi kritis masyarakat.
Bila analisa ini di sederhanakan, dapat dikemukakan bahwa sistem  partai tunggal hanya menyediakan ruang bagi satu partai sebagai institusi artikulasi kepentingan politik warga negara. Dalam sistem ini, posisi partai tunggal itu pun hadir sebagai partai negara. Partai negara ini digunakan oleh tiran sebagai alat mobilisasi legitimasi dirinya.  Bagi para penguasa, kehadiran partai tunggal seperti ditujukan untuk menjaga stabilitas negara sehingga agenda-agenda pembangunan dapat berjalan dengan baik.  Dengan sistem seperti ini, terdapat sejumlah biaya politik yang harus dikeluarkan negara dan masyarakat. Pertama, budaya politik yang dibangun yaitu dalam bentuk kesatuan komando. Dalam pandangan para penguasa, homogenitas cara pandang politik mempermudah ruang gerak pemerintah untuk melakukan mobilisasi politik. Pluralitas dan heterogenitas kelompok merupakan sesuatu hal yang dianggapnya sebagai sesuatu hal yang tidak efektif, sehingga direduksi oleh negara. Heterogenisasi cara pandang politik dalam konteks rezim seperti ini dianggap sebagai penghianat. Karenanya ketika ada critical-mass yang berusaha untuk mengawasi dan melakukan check and balances pada pemerintah, maka dapat sangat mungkin mereka dijerat oleh undang-undang subversif ataupun oleh undang-undang keamanan negara. Kedua, model sentralistik atau sistem komando dipahami sebagai sesuatu hal yang efektif untuk kepentingan negara dan wajib dipatuhi oleh seluruh warga negara. Dalam konteks ini, rasionalitas politik menjadi sesuatu hal yang bisa dinonaktifkan, karena dapat membentuk polarisasi politik. Oleh karena itu, para penguasa menyusun mitologi sampai dengan reproduksi citra menjadi satu kebutuhan dalam rangka membangun tatanan sosial politiknya. Ketiga, rezim penguasa menggunakan setiap elemen atau aparatur negara untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan. Pelibatan rezim militer dalam sistem politik yang rapuh menjadi cerita-cerita di banyak negara berkembang di seluruh dunia sepanjang tahun 1950-an hingga awal tahun 1990-an. Keempat, bentuk kepartaian tunggal seringkali terbentuk di negara-negara berkembang atau negara-negara yang baru keluar dari kolonisasi. Ada kecenderungan kuat di negara-negara yang baru "lahir" para founding fathers berupaya untuk mengintegrasi kepentingan-kepentingan elite politik yang merasa mempunyai warisan sejarah sebagai pahlawan untuk meminta "jatah" kepentingannya diakomodasi. Namun perlu diingat akan sangat banyak sekali kepentingan yang perlu diwadahi.
Kedua, sistem partai hegemonik. Ada sedikit perbedaan dengan sistem partai tunggal. Dalam sistem partai hegemonik dibuka ruang untuk hadirnya partai-partai lain. Namun, hal yang menonjol –dan ini mirip dengan partai tunggal—partai yang diakui itu adalah partai yang cenderung mendukung pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah. Dengan kata lain, pada dasarnya dalam partai hegemonik ini pun hanya ada satu partai.  Hanya secara formal dan material, jumlah partai politik lebih dari satu, walaupun secara esensial yang muncul dan berkembang hanya satu partai.
Untuk konteks Indonesia era Orde Baru, fenomena kehadiran Golongan Karya merupakan salah satu contoh dari partai hegemonik, dan pada waktu itu pula, sistem kepartaian Indonesia dapat dikatakan sebagai satu sistem kepartaian hegemonik. Kendati pada saat itu, ada dua partai besar yang lainnya, yaitu PDI dan PPP, namun kedua partai tersebut cenderung menjadi underbow dari Golongan Karya atau penguasa.
Berdasarkan analisa ini, bentuk partai tunggal dan sistem partai hegemonik pada dasarnya diorientasikan untuk menciptakan kondisi sosial politik bangsa dan negara yang stabil. Hanya saja, sistem kepartaian seperti ini potensial melahirkan problem kebangsaan dan kenegaraan yang akut, misalnya terkait hak azasi manusia, baik hak asasi dalam konteks politik maupun kehidupan individu sebagai manusia yang merdeka.
Sebagai bentuk perkembangan sekaligus kritik terhadap sistem partai tunggal maupun partai hegemonik, ada sistem dua partai.  Dalam sistem ini menyediakan ruang bagi dua partai untuk bersaing guna mendapatkan dan/atau mempertahankan otoritasnya dalam suatu sistem politik. Implikasi dari kondisi ini, maka akan terbentuk satu partai sebagai partai penguasa dan kelompok lain sebagai partai oposisi.
Partai politik yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum secara otomatis menjadi partai berkuasa selama waktu yang ditetapkan oleh konstitusi. Sedangkan partai yang kalah menjadi partai oposisi (loyal) yang memberikan antitesisi atau counterpart pada setiap kebijakan dan/atau keputusan politik yang dihasilkan oleh pemerintah. Perlu dicatat bahwa oposisi loyal bukan hanya melakukan kritik terhadap pemerintah berkuasa tetapi juga membedakan dukungan atas kebijakan dan keputusan pemerintahan yang memang berkiblat pada kepentingan publik. Ini artinya pada saat pemerintah berkuasa memformulasi kebijakan publik yang tidak berorientasi pada kebutuhan mayoritas publik, maka partai oposisi akan melakukan peran dan fungsinya sebagai antitesis atas kebijakan-kebijakan pemerintah berkuasa. Yang perlu dicatat dalam sistem seperti ini ialah bahwa kontrol partai oposisi pada partai berkuasa tidak didasarkan pada upaya untuk melakukan perubahan sistem politik. Tetapi lebih dilandaskan pada orientasi kepentingan warga masyarakat secara luas (khususnya konstituen partai). Sehingga, di sisi lain, apabila terdapat keputusan-keputusan politik pemerintah yang memang bernuansa tuntutan publik, maka partai oposisi akan sangat mendukung atas diberlakukannya keputusan tersebut.
Pada sistem dua partai ini tampak jelas perbedaan tugas pokok dan fungsi dari sebuah partai. Partai penguasa akan berbeda fungsi dengan partai oposisi.  Kehadiran dua kelompok partai seperti ini, secara teoritik diarahkan untuk membangun keseimbangan kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat, sehingga proses pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Sistem dua partai akan berjalan dan berkembang dengan baik bila ada prakondisi yang mendukungnya, seperti (1) tersedianya homogenitas sosio-kultural warga masyarakat; (2) tegaknya konsensus pada pembangunan politik yang beradab dan berkualitas dalam diri setiap warga masyarakat; (3) adanya kontinuitas sejarah, sehingga mempermudah pelembagaan pembangunan politik yang berkelanjutan, serta (4) terdapat mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang mapan.
Selain ketiga jenis sistem kepartaian tersebut, ada model keempat yang disebut sistem multipartai. Dalam bentuk ini ada dua atau lebih partai politik yang dominan. Sistem multipartai merupakan produk dari struktur masyarakat yang pluralis atau majemuk, baik dari sisi religiositas, etnisitas, maupuan sosio-ekonomi.  Ada dua hipotesis yang terbentuk dalam sistem multipartai. Pertama, sistem banyak partai agak sukar untuk menghasilkan pemenang pemilihan umum yang mutlak atau absolut. Kondisi ini potensial memperumit pembangunan politik pemerintahan yang stabil dan kuat. Karena setiap partai politik dapat mengklaim memiliki massa yang kuat dan sama pentingnya dalam proses pembangunan politik.  Dari kondisi seperti ini menuntun terbentuknya kekuasaan berdasar koalisi. Dengan adanya koalisi antar partai dengan partai penguasa, pemerintah harus mampu menjaga koalisi agar tercipta pembangunan.
Sistem multipartai, apalagi bila disandingkan dengan pemerintahan parlementer akan cenderung pada kekuasaan badan legislatif (Budiarjo, 1992:169), karena eksekutif tidak bersatu kuat dalam menjalankan administratur pemerintahan maka yang perlu menjaga stabilitas politik dalam negeri adalah institusi legislatif.
Pola multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proporsional representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai lain dan golongan-golongan kecil.  Melalui sistem perwakilan berimbang ini, diharapkan akan terbangun kualitas dan sistem politik yang stabil dan dinamis. Di balik itu semua, dalam konteks sistem multipartai ada tendensi kuat dari setiap elemen masyarakat atau elit politiknya untuk tetap menjaga kemajemukan. Karena itu, mewadahi kepentingan yang beraneka-rupa dalam satu atau dua partai saja mengakibatkan tidak berkembangnya kelompok sosio-kultur, agama, atau kelompok ekonomi tertentu.

5.3    Sistem Pemilihan Umum
            Pemilihan umum merupakan satu sistem pemilihan yang dapat menentukan kualitas dan keberadaban sebuah sistem politik pada satu negara. Dalam konteks sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Pemilu merupakan salah satu perangkat yang niscaya dalam sebuah sistem demokrasi. Terkait dengan pemahaman seperti itu pula, maka kadangkala ada negara  yang menjadi kehadiran pemilu sebagai klaim politis atas kedemokrasian negara yang dibangunnya.
Adanya sikap klaim sepihak dari negara-negara tertentu tentang kedemokrasi tersebut, menyebabkan parameter demokrasi pada sebuah Negara kurang akurat. Hal ini biasanya terjadi pada negara transisi atau negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu, ada tidaknya pemilu di suatu negara tidak secara otomatis dapat menggambarkan ada atau tidaknya kehidupan demokrasi politik pada negara tersebut. Hal ini disebabkan karena pemilu di beberapa negara dunia ketiga seringkali tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi.
            Pada negara semacam ini, pemilu sekedar untuk menunjukkan kepada dunia bahwa secara formal persyaratan sebagai negara demokrasi telah terpenuhi, sementara secara substansial masih jauh dari esensi demokrasi sendiri. Dalam konteks semacam ini, keberadaan pemilu sebagai parameter, demokrasi bukan terletak pada ada dan tidaknya pemilu, namun lebih pada tingkat pelaksanaannya.
Pemilihan dalam pemilihan suatu sistem Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu keputusan kelembagaan yang penting bagi negara-negara yang berupaya untuk menegakkan keberadaban dan keberkualitasan sistem politik. Karena sistem pemilihan umum akan menghasilkan logika-logika politik, atas laksana administrasi, berjalannya birokrasi, hingga tumbuh dan berkembangnya civil society di dalam sistem itu selanjutnya. Maka dari itu, sejatinya, pemilihan sistem pemilihan umum menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan sesederhana seperti yang diwacanakan oleh banyak pihak. Bila boleh jujur, jarang sekali sistem pemilihan umum dipilih secara sadar (rasional) dan disengaja oleh elite-elite politik di banyak negara. Seringkali pemilihan sistem tersebut datang secara kebetulan, karena adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi secara simultan, atau adanya karena trend yang sedang menggejala, atau karena keajaiban semata.
Oleh karena jarangnya sistem pemilihan umum yang dirancang secara seksama untuk memenuhi kondisi historis dan sosio-politik suatu negara, maka sistem pemilihan umum yang dikonstruksi oleh suatu lembaga pemerintahan seringkali berorientasi pada kepentingan atas pemenuhan pertahanan status-quo dibandingkan menumbuhkan dan mengembangkan kebermaknaan politik logika-logika yang digunakan oleh rezim berkuasa ketika menetapkan sistem pemilihan umum dalam suatu negara biasanya didasarkan atas logika demokrasi prosedural dibandingkan dengan demokrasi sejati pilihan sistem pemilihan umum dalam demokrasi yang sejati seharusnya dapat memastikan bahwa pembagian politik dari suatu masyarakat (entah itu dilihat dari sisi: religiositas, etnisitas, sosio-kultural, hingga sosio-ekonomi) diperhatikan secara layak oleh kerangka hukum pemilihan umum, sehingga pertentangan dan perbedaan utama yang disediakan dalam iklim demokrasi dapat diakomodasikan melalui sistem perwakilan politik (dalam hal ini sistem pemilihan umum).
Pertanyaanya sekarang, mengapa warga perlu melakukan pengawasan atau kontrol pada elite pemformulasi sistem pemilihan umum? Perlu disadari bahwa usaha untuk memilah dan memilih sistem pemilihan umum merupakan keputusan kelembagan yang sangat penting untuk membangun negara yang beradab dan berkualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu sistem pemilihan umum dapat membantu "merekayasa" tujuan-tujuan tertentu yang ingin dihasilkan oleh tujuan negara jangka panjang. Bagi aktor-aktor politik yang memiliki kecenderungan negatif, tentu, sistem pemilihan umum dapat merekayasa kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan mereka/seperti menyediakan anggota parlemen yang kuat bagi partai politik atau kelompoknya, atau menghasilkan daerah-daerah pemilihan yang tidak dapat meneruskan kelompok-kelompok oposisi, dan seterusnya. Tapi bagi aktor-aktor politik yang memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, sistem pemilihan umum tentunya dapat merekayasa akan penjaminan keterwakilan kelompok-kelompok secara proporsional (representatif, hidupnya partai-partai kecil, terlembaganya oposisi loyal, hinga menjamurnya persatuan dan kesatuan.
Ada beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi kehidupan demokrasi suatu negara, khususnya di negara-negara dunia ketiga, pertama, melalui pemilu memungkinkan suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai. Kedua, melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan suatu pemilu yang bebas dan adil. Sebab jika tidak, akan mengundang protes massa untuk menentang penyelewengan dalam penyelenggaraan kekuasaan, yang tidak jarang dilakukan dengan cara-cara kekerasan.
Secara konseptual, terdapat dua mekanisme untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. Pertama, menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil, atau yang disebut oleh banyak kalangan ilmuwan politik disebut dengan sistem pemilihan (electoral sistem). Kedua, menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, atau yang oleh kalangan ilmuwan politik disebut dengan proses pemilihan (electoral process).
Pemilihan Umum yang bebas dan adil, dapat melahirkan partisipasi dari para pemilih yang secara sukarela menentukan pilihannya dalam proses pemilihan umum tersebut. Dan memungkinkan untuk mengurangi fenomena golput terutama dari kalangan usia muda. Saat ini di Indonesia mulai diberlakukan pemilihan umum secara langung. Ini merupakan upaya untuk menciptakan demokratisasi di Indonesia.
Apabila disepakati bahwa kualitas sistem demokrasi akan ditentukan oleh kualitas proses seleksi para wakil rakyat, dapat dianggap bahwa pemilihan umum legislatif merupakan suatu keniscayaan politik. Ada sejumlah argumen mengapa pemilihan umum merupakan agenda politik yang mendesak dalam rangka memperbaiki kehidupan demokrasi bangsa ini, terutama berkaitan dengan pelaksanaannya secara langsung memilih orang dan partai politik tertentu.
Sebagaimana disebutkan oleh Sjamsudin Haris (2005: 2), yakni:
1.      Pemilihan langsung diperlukan untuk memutuskan mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai kehidupan partai-par-tai politik. Kepentingan partai-partai itulah dan bahkan kepentingan elit politik seringkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian pemilihan umum secara langsung bagi calon anggota legislatif dari partai politik, diperlukan guna meminus mata rantai politisasi atas partisipasi publik dan aspirasi publik yang cenderung dilakukan oleh partai-partai politik dan para politisi partai bilamana dipilih oleh elite politik di parlemen.
2.      Pemilihan umum secara langsung bagi calon anggota legislatif dan partai politik, diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas, para elit politik.
3.      Pemilihan umum secara langsung calon anggota legislatif dan partai politik, diperlukan untuk, menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan, baik pusat maupun lokal langsung.
4.      Pemilihan umum secara langsung calon anggota legislatif dan partai politik, akan memperkuat dan meningkatkan seleksi calon anggota legislatif karena makin terbukanya peluang bagi calon tersebut yang berasal dari bawah/ daerah. Kecenderungan tidak sehat yang berlangsung selama ini adalah elite politik nasional hanya berasal dari dan beredar di Jakarta saja hampir tidak ada peluang bagi para elit politik lokal untuk mengembangkan kariernya menjadi elite politik nasional, sehingga berkesan tidak mempunyai banyak pilihan ketika memutuskan siapa yang pantas menjadi elit politik nasional padahal salah satu tujuan otonomi daerah menurut Smith, adalah dalam kerangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.
5.  Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, akan lebih meningkatkan kualitas partisipasi rakyat di satu pihak dan keterwakilan elite di lain pihak, karena masyarakat dapat menentukan sendiri siapa yang di anggap pantas dan layak yang akan menjadi calon anggota legislatif dan partai politik untuk membawa aspirasi masyarakatnya, baik di pusat maupun di lokal.
            Bagi Larry Diamond (2003: 103-107), Pemilihan Umum bebas dan adil yang dilakukan secara berkala, meskipun memenuhi aspek kompetisi dan partisipasi, hanya menjanjikan demokrasi pemilihan yang secara katagoris berbeda dengan demokrasi liberal. Selanjutnya Diamond merumuskan bahwa, demokrasi pemilihan adalah suatu sistem konstitusional yang menyelenggarakan
pemilihan umum multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif dan kepala eksekutif. Mengutip dari Caller dan Levitsky, Diamond mengidentifkasi sistem seperti itu sebagai demokrasi prosedural yang diperluas.
Kebutuhan bangsa akan sistem demokrasi, jelas tidak sekedar prosedural dan elektoral, pengalaman bangsa kita akan institusi demokrasi produk Pemilihan Umum tahun 1999 memperlihatkan buruknya kinerja partai-partai legislatif dan eksekutif . Dalam kaitan itu, Diamond mengemukakan bahwa demokrasi yang substansional dan terkonsolidasi hanya dapat dipenuhi oleh suatu demokrasi liberal. Diamond (2005: 135), menyebutkan bahwa demokrasi liberal membutuhkan paling tidak ada tiga prasyarat yakni : Pertama, menolak kehadiran kekuasaan militer maupun aktor-aktor lain (seperti birokrasi dan oligarkhi yang secara langsung maupun tak langsung tidak memiliki akuntabilitas pada pemilih). Kedua, selain akuntabilitas vertikal para penguasa horizontal di antara para penguasa kepada rakyat, demokrasi liberal membutuhkan akan stabilitas horizontal di antara penguasa. Ketiga, demokrasi liberal mencakup ketentuan-ketentuan yang luas bagi pluralitas sipil dan politik serta kebebasan individu dan kelompok. Aspek penting lain di dalam demokrasi yang tidak sekedar prosedural adalah adanya hak masyarakat untuk memperebutkan kekuasaan atau membela kepentingannya di luar kendali para pejabat terpilih secara terbatas.
Selain itu, tentu saja sistem pemilihan umum berusaha untuk dapat mempengaruhi hubungan antara warga negara dan pemimpin mereka (seperti pertanggungjawaban politik, keterwakilan dan daya tanggap). Dengan demikian sistem pemilihan umum memiliki banyak akibat jangka panjang bagi pemerintahan yang beradab dan berkualitas. Setidaknya, ada tiga tugas utama dari suatu sistem pemilihan umum (Internasional IDEA, 2002: 24):
1. Menerjemahkan suara-suara yang dipungut dari, voters untuk menjadi kursi yang dimenangkan dalam badan legislatif,
2.   Bertindak sebagai saluran yang memungkinkan rakyat meminta pertanggungjawaban pada wakil-wakil mereka;dan
3.   Memberikan insentif kepada mereka yang memperebutkan kekuasaan untuk menyusun imbauan kepada para pemilih dengan cara berbeda-beda.
Dalam prakteknya, untuk melakukan pembangun politik, sistem pemilihan umum yang akan diimplementasikan membutuhkan prakondisi yang cukup kompleks. Berbagai aspek berikut ini, perlu diperhatikan dengan tujuan untuk meningkatkan kualiatas dan keadaban dari sistem demokrasi yang sedang dibangun tersebut. Beberapa hal yang dimaksud, yaitu :
1.      Salah satu fungsi utama dari sistem pemilihan umum adalah membentuk parlemen yang representatif baik secara: geografis maupun kultural (komunitas). Dengan adanya pemilu ini diharapkan terpilihnya individu yang berkualitas pada badan perwakilan. Dengan terpilihnya individu-individu yang berkualitas tersebut diharapkan kepentingan dan kebutuhan publik yang beragam dapat diakomodasi secara baik.
2.      Menyediakan sarana bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara sulit dapat dipungkiri bahwa sistem pemilihan umum tidak hanya berusaha untuk mengonstruksi pemerintahan untuk berkuasa, tapi juga sistem pemilihan umum seringkali diharapkan oleh banyak pihak dapat mengatasi konflik. Untuk konteks yang luas/konflik, secara relatif, dapat diredam melalui pemilihan umum yang dipersepsikan oleh warganya berlangsung dengan transparan, jujur, serta adil. Dengan adanya pemerintahan yang legitimate tentu saja persatuan dan kesatuan yang terancam oleh karena berkobarnya konflik dapat diredam secara akomodatif dan gradual.
3.      Tegaknya akuntabilitas dan responsibilitas pemerintah serta wakil rakyat. pertanggung gugatan dan pertanggungjawaban merupakan salah satu unsur penting dari pemerintahan perwakilan. Karena logika dasar sistem perwakilan adalah adanya kemampuan kontrol atau pengawasan dari publik pada pemerintah yang dipilihnya. Sistem pemilihan umum yang baik tentu saja akan menyediakan mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas para wakil rakyat dan pemerintah terpilih pada publiknya. Ini artinya bahwa para pemilih (voters) diharapkan juga mampu untuk mempengaruhi sepak-terjang pemerintah apabila memang pengejawantahan dari formulasi dan implementasi yang dilakukan tidaklah dapat dipertanggung-gugatkan dan pertanggung-jawabkan.
4.      Mendorong terbangunnya oposisi loyal di parlemen. Pemerintah yang berkualitas dan beradab tidak hanya ditentukan oleh aktivitasnya semata, tetapi juga amat tergantung pada masukan dari rezim oposisi di parlemen. Karena itu, sistem pemilihan umum harus menjamin lahirnya oposisi loyal yang aktif. Dengan adanya oposisi loyal yang aktif di parlemen diharapkan terinstitusionalisasinya aktivitas-aktivitas, seperti: penilaian atas formulasi kebijakan secara kritis, penjaminan hak-hak minoritas, dan mewakili konstituennya secara efektif. Phobia atas demokrasi yang membenarkan "winner take all" perlu diperbaiki dalam konteks demokrasi yang beradab melalui sistem pemilihan umum, dengan menyediakan oposisi loyal di parlemen.
5.      Adanya pemerintahan yang stabil dan efisien. Terbangunnya pemerintahan yang stabil dan efisien, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh faktor, apakah sistem pemilihan umum yang mengada dapat melahirkan sistem politik yang berkualitas dan beradab. Kualitas dan keberadaban sistem politik khususnya rezim berkuasa, tentunya dipengaruhi oleh dukungan yang luas dari warga masyarakat. Legitimasi yang terbangun atas dukungan yang luas dari publik tentu saja, secara relatif, meniadakan perbedaan yang tajam dalam suatu sistem politik, sehingga mampu menghidupkan nuansa kepemerintahan yang berujung pada stabilitas dan efisiensi kerja. Legitimasi memang diperlukan oleh pemerintah untuk menjalankan perbagai aktivitasnya.
Dengan demikian, pilihan atas sistem pemilihan umum merupakan dasar atas penyusunan kerangka institusional sistem politik di suatu negara penerapan suatu sistem pemilihan umum tertentu dalam konteks negara, sudah barang tentu dapat berdampak positif maupun negatif. Karena itu pemilihan atas sistem-sistem pemilihan umum harus dilakukan secara sadar dan rasional. Sistem-sistem pemilihan umum sering dikelompokkan berdasarkan seberapa proporsional sistem-sistem itu menerjemahkan suara yang diberikan para pemilih menjadi kursi yang dimenangkan partai-partai.
Dalam kajian ilmu politik, dapat ditemukan puluhan jenis pemilu yang dikembangkan oleh negara-negara yang ada di dunia ini.  Tidak ada sistem pemilihan umum yang dapat dikatakan sebagai sistem "terbaik" yang dapat fit serta cocok untuk semua negara. Pastinya ada kelebihan dan kekurangan atas sistem-sistem yang ditawarkan untuk setiap negara. Pilihan atas sistem pemilihan umum perlu dibuat secara rasional dan sadar dengan mengingat tujuan-tujuan yang diinginkan oleh elite dan publik di suatu negara, sehingga dampak negatif dari sistem yang digunakan dapat dieliminir. Oleh karena itu, pada akhirnya sistem pemilihan umum sangatlah bersifat kontekstual dan tergantung pada teknis pemisahan dan pembagian wilayah tertentu dalam suatu masyarakat. Meski disadari bahwa sistem pemilihan umum "tertentu" memang lebih baik dilaksanakan di negara tertentu, tetapi belum tentu hasil pemilihan umum dengan menggunakan sistem yang sama berdampak paralel dengan negara-negara yang mengikutinya. Ketika mengkaji sistem pemilihan umum, Pertimbangan penting yang perlu diperhatikan ialah apakah aliran-aliran politik, religiositas, dan etnis di suatu negara terfragmentasi secara tajam, dan apakah kaum minoritas diwakili secara adil.
Secara umum, sistem pemilu tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu sistem pemilihan mayoritas plural, sistem pemilihan semi-proporsional, dan sistem pemilihan perwakilan proporsional.



a. Sistem Pemilihan Plural-Majority
Ada beberapa ciri yang menunjukkan sistem pemilihan mayoritas pluralitas. Dalam sistem ini hampir selalu menerapkan distrik wakil tunggal. Pendekatan ini tentunya diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang stabil di parlemen.  Secara sederhana dalam sistem ini ada empat ciri utama.
Pertama, First Past the Post atau sering juga disebut FPTP, yaitu istilah yang menunjukkan sistem distrik wakil tunggal di mana calon legislatif yang menang adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak tanpa harus memperoleh suara mayoritas-absolut. Ada nilai positif dari sistem ini, yakni (1) menyediakan opsi yang tegas bagi sistem dua partai; (2) membangun oposisi yang seimbang di parlemen; (3) sistem ini memungkinkan para pemilih (voters) untuk memilih individu-individu daripada sekadar memilih gambar partai semata; serta (4) FPTP mampu memberikan ruang bagi mekanisme akuntabilitas dan responsibilitas yang jelas pada para wakil rakyat di parlemen pada konstituen pemilihnya.
Kedua. sistem Block Vote. Sistem First Past the Post yang digunakan dalam distrik (wakil) majemuk. Sistem ini memberikan kesempatan pada para pemilih (voters) untuk memilih sebanyak kursi yang akan diisi di parlemen, dan biasanya mereka bebas memilih calon legislatif tanpa mempertimbangkan afiliasi partainya.
Ketiga, sistem Altenative Voter, sistem Alternative Vote memberikan opsi yang lebih besar kepada pemilih daripada sistem First Past the Post pada saat mereka menandai kartu suara. Dalam sistem Altenative Vote para pemilih (voters) diminta untuk (atau bahkan) mengurutkan calon-calon anggota parlemen yang sesuai dengan prefensi pilihan mereka.
Keempat, dari sistem Plural-Majority adalah sistem Two Round Sistem  atau Sistem Dua Putaran. Sistem Two Round Sistem, yaitu sistem pemilihan yang tidak hanya dilakukan satu kali pemilihan, tetapi harus dilakukan sebanyak dua putaran. Putaran pertama dilaksanakan sama seperti pemilihan model First Pasf the Post, jika muncul seorang calon anggota legislatif yang mendapatkan suara mayoritas absolut, maka calon pemeroleh suara terbanyak tersebut secara langsung didaulat menjadi anggota legistatif dan tidak diperlukan putaran kedua, walau istilah sistem itu sendiri Two Round Sistem. Hal ini dikarenakan oleh telah terpenuhinya aspek suara mayoritas-absolut. Tetapi, jika tidak ada calon anggota parlemen yang mendapatkan suara mayoritas-absolut, maka putaran kedua wajib dilaksanakan dan dalam putaran kedua diupayakan muncul pemenang utama, sehingga dinyatakan terpilih. Salah satu metode yang dapat digunakan agar tercipta pemenang yang bersuara mayoritas-absolut adalah dengan mengisyaratkan bahwa peserta yang mendapatkan suara pada posisi paling bawah atau berada pada ranking-ranking bawah (yang ditetapkan oleh panitia pemilihan tentunya), maka mereka tidak diikutsertakan lagi pada putaran kedua. Dengan berkurangnya calon-calon anggota legislatif yang menjadi peserta pemilihan diasumsikan dapat memunculkan pemenang yang absolut (lima puluh persen ditambah satu pemilih).

b.  Sistem Pemilihan (Representasi) Proporsional
Bagaimana pemberian suara rakyat disebarkan diantara partai-partai yang berkompetisi? Semua sistem politik dengan pemilihan, baik kompetitif maupun tidak, harus mempunyai sistem pemilihan, jika partai-partai itu seperti pepohonan di hutan, maka sistem pemilihannya adalah hutannya; pepohonan itu tumbuh ditengah-tengahnya, dan kita hampir selalu mengira hutan itu sebagai pohonnya. Sebagian warga negara, baik ia hidup dibawah pemerintahan otoriter maupun demokrasi, dapat mengenali dengan benar sistem pemilihan yang, sebetulnya mempunyai pengaruh besar pada pilihan politik yang ada. Lalu, apakah “sistem pemilihan” itu?.
Terdapat tiga variable model sistem pemilihan dalam kubu sistem pemilihan representasi proporsional, yakni : Sistem Pemilihan List Proportional Representation (List PR), Sistem Pemilihan Mixed Member Proportional (MMP), serta Sistem Pemilihan SingleTransferableVote (STV).
Pertama, Sistem Pemilihan List Proportional Representation (Lisf PR) Dalam bentuk yang paling sederhana. List PR biasanya meliputi kegiatan, sebagai berikut, setiap partai dipersilahkan untuk membuat daftar (atau list) nama-nama calon legislatif yang ditawarkan pada pemilih pada suatu wilayah representasi tertentu, yang mana kemudian para pemilih (voters) memilih gambar partai dan atau gambar anggota calon yang tertera dalam daftar nama-nama calon yang ditawarkan tersebut. Pemilih hanya diperkenankan memilih satu calon saja (yang berbeda dengan Sistem Pemilihan Preferensial, misalnya). Seringkali Gambar partai telah dianggap mewakili pilihan pemilih pada calon yang bernomor kecil, sehingga kemungkinan untuk tidak ada anggota legislatif yang tidak terpilih dalam sistem ini amat kecil. Karena dengan hanya mencoblos tanda gambar partai, biasanya pemilihan itu dianggap sah; namun tidak untuk sebaliknya. Para pemenang (calon anggota terpilih) adalah mereka.-mereka yang berhasil meraih suara tertentu sesuai dengan jumlah mandat yang ditetapkan oleh Panitia Pemilihan umum (biasanya berdasar pada jumlah kepadatan penduduk di suatu wilayah).
Kedua, Sistem Pemilihan Mixed-Member Proportional (MMP) Sistem pemilihan ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif baik dari sistem pemilihan umum model mayoritas maupun dari sistem pemilihan Representasi Proporsional Sebagian anggota parlemen dipilih berdasarkan metode Plural-majority, biasanya dengan sistem distrik wakil tunggal, sementara sisanya lagi dipilih berdasarkan List PR. Sekilas sistem ini mirif dengan sistem pemilihan Paralel yang sudah dijelaskan sebelumnya, namun perbedaan utamanya adalah bahwa dalam Sistem pemilihan Mixed Member Proportional kursi yang berdasarkan List PR dapat mengompensasi disproporsionalitas yang tidak dihasilkan melalui Sistem Plural-Majority. Secara teoretik pengalihan seperti tersebut di atas setidaknya mengambil tiga model mekanisme turunan dari Sistem Pemilihan Mixed-Member Proportional ini (Kartawidjaya dan Kusuma, TT: 63-47). yang pertama disebut dengan Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel. Sistem ini menggabungkan atau mengkombinasikan perolehan suara atas perolehan kursi melalui Sistem Proporsional dan melalui Sistem Distrik.
Kedua, Sistem Kombinasi Proporsional Non Personal. Sistem ini amat berbeda, secara penghitungan suara, dengan sistem pemilihan Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel.
Ketiga, Sistem Kombinasi Kompensatoris, Prinsip penghitungan sistem ini sama dengan Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel. Letak perbedaannya hanyalah pada saat suara-suara yang tercecer dalam Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel dinegasikan sama sekali, maka dalam Sistem Kombinasi Kompensatoris sisa-sisa suara tersebut dikumpulkan dan dikontestasikan lagi dalam area nasional.   Sehingga memunculkan nama-nama baru yang sebelumnya tidak muncul dalam Sistem Pemilihan Kombinasi Paralel.
Dan, varian terakhir, ketiga, dalam Sistem Pemilihan Proposional ialah Sistem Pemilihan Single Transferable Vote (STV). Paara ilmuwan politik telah sejak lama menganggap bahwa Single Transferable Vote merupakan salah satu sistem pemilihan umum yang paling menarik. Daya tarik sistem ini terletak pada penggunaan distrik wakil majemuk di mana pemilih mengurutkan calon legislatif berdasarkan kesukaan (preferensi) mereka dalam kertas suara (sama seperti yang dilakukan dalam Alternative Vote, di mana logika berpikir Sistem Plural-Majority digunakan). Pada kebanyakan kasus, penomoran urut seperti itu tidak wajib dilakukan dan para pemilih tidak diminta untuk mengurutkan semua calon legislatif. Mereka dapat dengan sesuka hatinya untuk menandai satu calon legislatif saja. Sesudah jumlah total suara preferensi pertama dihitung penghitungan kemudian beralih untuk menghitung kuota suara yang diperlukan untuk pemilihan seorang calon legislatif. Kuota dihitung berdasarkan rumus yang sederhana.


 
 



Langkah pertama tadi adalah cara untuk menghitung jumlah total preferensi pertama bagi masing-masing calon legislatif. Setiap calon legislatif yang memperoleh suara preferensi melebihi kuota akan otomatis langsung terpilih. Jika tidak ada satupun calon anggota legislatif yang mencapai kuota, maka calon legislatif yang memperoleh suara preferensi pertama terendah dicoret dari daftar, kemudian suara preferensi keduaanya dibagikan lagi kepada para calon legislatif yang tertinggal. Pada saat yang sama, jumlah kelebihan suara calon legislatif terpilih (yakni suara di atas kuota) dibagikan lagi menurut preferensi kedua pada kertas suara. Agar adil, semua kertas suara calon legislatif dibagi lagi tetapi masing-masing menurut persentase dari satu suara, sehingga jumlah total suara yang dibagikan sama dengan sisa surplus suara. Sebagai contoh, jika seorang calon legislatif memperoleh 100 suara, dan surplus suaranya sepuluh suara, maka setiap kertas suara akan dibagikan dengan nilai 1/10 suara. Proses ini diteruskan sampai semua kursi untuk sebuah daerah pemilihan terisi.

c.  Sistem Pemilihan Semi-Proporsional
Sistem Pemilihan Semi-Proporsional merupakan sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada diantara Sistem Pemilihan Proporsional dengan mayoritarian dari Sistem Plural-Majority. Tiga macam varian
sistem pemilihan umum dalam kelompok Sistem Semi-Proporsional yang dapat digunakan untuk memilih calon-calon anggota legislatif, adalah: Sistem Pemilihan
Palalel, Sistem Pemilihan Limited Vote (LV), dan Sistem Pemilihan Single Non Transferable Vote (SNTV).
Varian sistem yang pertama turunan dari Sistem Semi-Proporsional adalah Sistem Pemilihan Parallel Sistem (PS). Sistem ini menggunakan daftar-daftar calon seperti pada Sistem Representasi Proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural-majority, sehingga seringkali sistem ini juga disebut Sistem Pemilihan Campuran. Pengguanan Sistem Representasi Proporsional atau menggunakan perwakilan distrik, seperti terpapar di atas, sangat ditentukan oleh panitia pemilihan umum.
Kedua, Sistem Pemilihan Limited Vote (LV). Pada dasarnya, Sistem Pemilihan Limited Vote adalah sistem campuran antara Sistem Pemilihan Single Non-Transverable Vote (SNTV) dengan Sistem Pemilihan Block Vote (BV), karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif, Di mana yang akan menjadi anggota legislatif terpilih ialah mereka-mereka yang memperoleh suara terbanyak. Sistem ini merupakan salah satu dari sistem yang paling jarang digunakan dewasa ini, tetapi masih tetap disukai karena sistem ini memberikan jalan bagi terpilihnya calon Iegislatif yang kuat dari kaum minoritas.
Sistem ketiga ialah Sistem Pemilihan Single Non-Transferable Vote (SNTV). Kelebihan Sistem pemilihan Single Non-Transverable Vote adalah kemampuannya memberikan peluang bagi keterwakilan partai-partai kecil untuk terlibat dalam kontesi pemilihan umum. sistem pemilihan ini membuka ruang bagi logika proporsionalitas yang besar pada ukuran distrik yang besar, sehingga keterwakilan warga masyarakat terasa amat kental dalam sistem ini, khususnya pada konteks sistem pemilihan Semi-Proporsional. Dalam sistem pemilihan ini setiap pemilih mempunyai satu suara, tetapi ada lebih dari satu kursi yang harus diisi dalam setiap distrik. Maka dari itu, para calon anggota legislatif yang mendapatkan jumlah suara terbanyaklah yang akan mengisi posisi anggota legislatif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

17 PUPUH SUNDA : GURU LAGU JEUNG GURU WILANGAN

DINAMIKA ORGANISASI

SOAL-SOAL PENDIDIKAN PANCASILA