SEJARAH POLITIK INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
PEMBAHASAN
Secara
etimologis istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demokratia” yang
terdiri dari dua kata, yaitu demos = rakyat dan kratos/kratein
= kekuatan / pemerintahan.
Ada beberapa definisi demokrasi menurut
para ahli, berikut beberapa contohnya:
1. Abraham Lincoln
: Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
2. Giovanni Sartori: Demokrasi
adalah suatu sistem dimana tak seorang pun dapat memilih dirinya sendiri, tak
seorang pun dapat mengindentifikasikan dia dengan kekuasaannya, kemudian tidak
dapat juga untuk merebut dari kekuasaan lain dengan cara-cara tak terbatas dan
tanpa syarat.
3. Ensiklopedi Populer Politik:
Demokrasi adalah suatu pola pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk memerintah
berasal dari mereka yang diperintah. Atau demokrasi adalah pola pemerintahan
yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang
diambil oleh mereka yang berwewenang.
Demokrasi sebagai meliputi
unsur-unsur sebagai berikut :
A. Adanya partisipasi masyarakat secara aktifd dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
B. Adanya pengakuan akan supremasi hukum (rule of law)
C. Adanya pengakuan akan kesamaan di antara warga negara
D. Adanya kebebasan, di antaranya; kebebasan berekpresi dan
berbicara/berpendapat, kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi, kebebasan
beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk menggugat pemerintah, kebebasan
untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, kebebasan untuk mengurus nasib
sendiri.
E. Adanya pengakuan akan supremasi sipil atas militer
Istilah
demokrasi bertolak dari suatu pola pikir bahwa:
1. Manusia
diperlakukan dan ditempatkan dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan. Keinginan, aspirasi, dan pendapat individu dihargai dan mereka diberikan
hak untuk menyampaikan keinginan, aspirasi, harapan, dan pendapatnya.
2. Salah
satu hak asasi manusia adalah kebebasan untuk mengejar kebenaran, keadilan, dan
kebahagiaan. Kebebasan dan keadilan ini melandasi keinginan, ide, atau gagasan
demokrasi.
3. Sesuatu
yang diputuskan bersama akan memiliki kadar ketepatan dan kebenaran yang lebih
menjamin
4. Di dalam kehidupan bermasyarakat,
pasti akan timbul selisih paham dan kepentingan antarindividu, sehingga perlu
suatu cara untuk mengatur bagaimana mengatasinya
2.2
Demokrasi Parlementer di Indonesia
Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan
kedudukan badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif. Kepala
pemerin-tahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam
demokrasi parlementer, presiden menjabat sebagai kepala negara.
Ciri-ciri dari demokrasi parlementer
adalah sebagai berikut:
1. Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja
2. Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan
raja diseleksi berdasarkan Undang-Undang
3. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak
istimewa)untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin
departemen dan non-departemen
4. Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif
5. Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada
kekuasaan legislatif
6. Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif
7. Kontrol terhadap negara, alokasi sumberdaya alam dan
manusia dapat terkontrol
8. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang,
unuk memperjuangkan dirinya
Di Indonesia, sistem parlementer ini berlangsung pada tahun 1950 sampai tahun
1959, ketika Indonesia. mengunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)
sebagai landasan kontitusional.
2.3 Keadaan Politik pada Masa
Demokrasi Parlementer
Keadaan politik pada masa Demokrasi Parlementer tidak stabil, sehingga program
pembangunan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Salah satu penyebab
ketidakstabilan tersebut adalah sering bergantinya pemerintahan yang betugas
sebagai pelaksana pemerintahan. Kondisi Indonesia di masa Demokrasi
Parlementer sangatlah rentan karena kinerja kabinet-kabinet sering mengalami
deadlock dan ditentang oleh parlemen. Hal itu terjadi karena adanya kelompok
oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam
proses perumusan dan pembuatan kebijakan Negara.
Berikut ini ketujuh kabinet yang pernah berkuasa pada masa Demokrasi
Parlementer di Indonesia:
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret
1951): Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir
(Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin Masyumi.
2. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari
1952): Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Dipimpin oleh Soekiman
Wiryosanjoyo.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953):
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar
yang ahli dalam bidangnya, dipimpin oleh Wilopo
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo ( 1 Agustus 1953-24
Juli 1955 ):Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU, dipimpin oleh Ali
Sastroamijoyo
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret
1956): Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin Harahap.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret
1957): Kabinet ini merupakan koalisi antara tiga partai yaitu PNI, Masyumi, dan
NU. Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo.
7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli
1959 ): Kabinet ini merupakan zaken kabinet yatu kabinet yang terdiri dari para
pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena kegagalan konstituante dalam
menyusun Undang-Undang Dasar pengganti UUDS 1950 serta terjadinya perebutan
kekuasaan politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950,Negara RI dan Negara bagian
lainnya yang sebelumnya terpecah didalam suatu bingkai Negara Federal
dipersatukan kembali menjadi sebuah Negara yang berbentuk Kesatuan. Sesuai
dengan Undang – Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) yang bernafaskan liberal,
maka dilaksanakanlah demokrasi liberal di Indonesia. Demokrasi Liberal disebut
juga demokrasi konstitusional adalah system politik yang melindungi secara
konstitusional hak–hak individu dari kekuasaan pemerintah. Indonesia
dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang –
Undang Dasar Sementara tahun 1950. Pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan
menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (
DPR ).
Sistem politik pada masa
demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai-partai politik, karena
dalam system kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari
pelaksanaan sistem politik
demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem multi partai yang dianut, maka partai-partai inilah yang menjalankan
pemerintahan melalui pertimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959. PNI dan Masyumi
merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun( 1950 -1955
) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet.
2.3.1 Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kabinet Natsir merupakan
kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama setelah bentuk negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Kabinet Natsir merupakan kabinet
koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. Sedangkan PNI (Partai Nasional Indonesia)
yang merupakan partai kedua terbesar saat itu lebih memilih kedudukan sebagai
oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasa tidak diberi kedudukan yang
sesuai dengan kekuatan yang dimiliknya.
Kabinet ini dipimpin oleh
Muhammad Natsir dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki
keahlian dan reputasi tinggi pada kancah politik Indonesia saat itu,
diantaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir.
Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Program kerja kabinet Natsir :
1. Menggiatkan
atau meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Menguatkan
konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan
organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan
dan memperkuat ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
5. Memperjuangkan
penyelesaian masalah Irian Barat.
Irian Barat pada masa ini merupakan wilayah-wilayah negara Indonesia yang
dijadikan boneka bentukan Belanda yang meski telah kembali ke pengakuan negara
kesatuan, tetapi wilayah RI belum sepenuhnya utuh karena wilayah Irian Barat
masih dikuasai Belanda. Oleh karena itu, pemerintah RI berupaya untuk merebut
kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Cara yang ditempuh oleh pemerintah RI
adalah dengan cara diplomasi, konfrontasi ekonomi, dan militer.
Hasil kerja :
1. Memetakan
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
2. Masuknya Indonesia
menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
3. Dilaksanakannya
perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
1. Upaya
memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
2. Timbul masalah
keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah
Indonesia, yaitu :
a.
Gerakan DI/TII
Gerakan DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam
Indonesia) yang pada saat itu mempunyai keinginan yang tinggi untuk mewujudkan
cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Bahkan cita-citanya ini
diwujudkan melalui proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 7 Agustus 1949
di Desa Cisayong, Jawa Barat. Atas cita-citanya ini, gerakan ini banyak melakukan
pemberontakan pada masa kabinet Natsir diberbagai wilayah Indonesia, seperti di
Jawa Barat, Sulawesi Sealatan, Aceh, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
b. Gerakan
Andi Azis
Gerakan ini merupakan pemberontakan Andi Aziz di
makassar (Sulawesi Selatan). Andi Aziz adalah kapten perwira Koninklije
Nederland Indische Leger (KNIL) yang melakukan pemberontakan disana dengan
menyerang APRIS karena menginginkan terbentuknya Negara Indonesia Selatan
(NIT).
c.
Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Gerakan ini dipimpin oleh Kapten Raymon
Westerling yang merupakan bekas komandan pasukan KNIL bentukan Belanda di
Indonesia. Tujuan gerakan ini adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal
di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS.
d. Gerakan
RMS (Republik Maluku Selatan)
Gerakan ini dipelopori oleh Mr. Dr. Christian
Robert Steven Soumokil (mantan jaksa Agung Negara Indonesia Timur). Gerakan ini
diawali dari ketidaksetujuannya atas terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ketidaksetujuannya ini dikarenakan adanya penggabungan
daerah-daerah negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sehingga ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dar
NIT (Negara Indonesia Timur) yang menjadi bagian RIS dan mendirikan RMS
(Republik Maluku Selatan). Bahkan, pada tanggal 24 April 1950, Soumokil
memproklamasikan berdirinya RMS.
Berakhirnya Kekuasaan Kabinet Natsir :
Penyebab
jatuhnya Kabinet Natsir dikarenakan kegagalan Kabinet ini dalam menyelesaikan
masalah Irian Barat, terjadi banyak pemberontakan diberbagai daerah dan adanya
mosi tidak percaya dari PNI pada tanggal 22 Januari 1951 menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi
tersebut disetujui parlemen sehingga Kabinet Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden pada tanggal 21 Maret 1951.
Penyebab lainnya adalah
seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai
oposisi.Walaupun demikian terdapat beberapa prestasi yang sempat ditorehkan
pada masa kabinet ini seperti di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah
ekonomi kolonial ke ekonomi nasional,keberhasilan Indonesia masuk PBB serta
berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai
masalah Irian Barat.
Pergantian Kabinet Natsir ke Kabinet Sukiman :
Setelah kabinet Natsir mengembalikan mandatnya
kepada presiden, presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi formatur.
Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan
Masyumi. Namun, usaha tersebut mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan
mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April
1951). Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI)
sebagai formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka
berhasil membentuk kabinet koalisi anatar Masyumi dan PNI dan sejumlah partai
kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian dikenal sebagai
kabinet Sukiman.
2.3.2 Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April
1952)
Kabinet
Sukiman berdiri setelah Kabinet Natsir dibubarkan dan menyerahkan mandatnya
kembali ke presiden. Awalnya presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi
formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara
PNI dengan Masyumi. Nemun terus saja usahanya tersebut mengalami kegagalan,
mengingat Sartono merupakan bagian dari PNI saja dan tidak ada dari pihak
Masyumi. Sehingga Sartono mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah
bertugas selama 28 hari (28 Maret – 18 April 1951).
Presiden kemudian menunjuk
Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Awalnya
kabinet ini banyak mengalami kesulitan namun akhirnya mereka berhasil membentuk
kabinet koalisi antar Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil.
Kabinet koalisi ini dipimpin oleh Sukiman, sehingga dikenal dengan kabinet
Sukiman. Kabinet ini, memiliki 7 pasal yang hampir sama dengan kabinet Natsir,
hanya saja beberapa hal mengalami perubahan dalam skala prioritas.
Program Kerja :
1. Bidang
keamanan, menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketentraman.
2.
Sosial-ekonomi,mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaruhi hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani. Juga mempercepat usaha
penempatan bekas pejuang di lapangan usaha.
3. Mempercepat
persiapan-persiapan pemilihan umum.
4. Di bidang
politik luar negeri: menjalankan politik luar negri secara bebas-aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang
hukum, menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil Kerja :
Tidak terlalu berarti sebab
programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala
prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin
keamanan dan ketentraman. Banyak hambatan dalam kabinet Sukiman membuat hasil
kerja kabinet ini tidak maksimal.
Kendala / Masalah yang dihadapi
:
1. Adanya
Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut
dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena
lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam
blok barat.
2. Adanya krisis
moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga
pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. Masalah Irian
barat belum juga teratasi.
4. Hubungan
Sukiman dengan militer kurang baik, yang menyebabkan keamanan dan ketentraman
semakin tidak stabil yang tampak dengan kurang tegasnya tindakan
pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Kegagalan kabinet Sukiman
dianilai dalam penangganan masalah keamanan dalam negeri, memihaknya Indonesia
kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act (MSA) dengan
pemerintah Amerika Serikat. Hal ini memicu munculnya pertentangan dari Masyumi
dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet
tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden.
2.3.3 Kabinet
Wilopo (3 April
1952 – 3 Juni 1953)
Setelah
kabinet Sukiman berakhir, pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan
Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi ) menjadi
formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah
pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini
mendapat banyak dukungan dari PNI, Masyumi, PSI.
Program :
- Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD). Program untuk menyelenggarakan pemilu ini merupakan program yang diutumakan dalam kabinet ini.
- Meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan taraf pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan rakyat.
- Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil :
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1.Adanya kondisi krisis ekonomi
yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara
kebutuhan impor terus meningkat. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan
keadaan ekonomi yang semikin silit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi
standart profesional, maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat
(berpendidikan rendah) perlu dikemablikan kepada masyarakat. Hal ini tentu
menimbulkan protes dikalangan militer. Kalangan yang terdesak dipimpin
oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi
penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Hal ini menimbulkan kericuhan dikalagan
militer dan menjurus kearah kericuhan.
2.Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimport beras.
3.Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi
dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
4.Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan.
5.Terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Adanya konflik ditubuh angkatan darat
yang diawali dari upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil
sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang
akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya
masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H
Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Sugeng sehingga ia mengirim petisi
mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi
pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik
semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot
Subroto dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan
muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen.
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa demonstrasi rakyat terhadap presiden
yang menuntuk untuk pembubaran parlemen serta meminta presiden memimpin
langsung pemerintahan samapai diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD
yang dipimpin Nasution juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen
dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak
mau menjadi dikatator, tetepi khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi
presiden akan ditunggangi mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya
muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952 dari Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris
Jendral Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas
peristiwa 17 Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H.
Nasution mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution kemudian
digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktobert 1952 tidak
menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan
menurunnya kepercayaan masdyarakat terahadap pemerintah.
6.Munculnya Peristiwa Tanjung
Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Perkebunan
tersebut adalah perkebunan milik orang asing, yaitu perkebunan kelapa sawit,
teh, dan tembakau. Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan mengembalikan lahan perkebunan
mereka kembali serta memiliki tanah-tanah perkebunan.
Pemerintah menyetujui
tuntutan dari pengusaha asing ini dengan alasan akan menghasilkan devisa dan
akan menarik modal asing lainnya msuk ke Indonesia. Tanah perkebunan di Deli
yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para
petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret
1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Para petanipun melakukan protes
kepada polisi dan disambut oleh tembakan polisi sehingga jatuh korban
dikalangan rakyat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung
Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet
Wilopo. Peristwa Tanjung Morawa ini dijadikan sarana oleh kelompok yang
antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Akibatnya
Kabinet Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu
mosi itu diterima oleh parlemen.
2.3.4 Kabinet Ali
Sastroamijoyo I (31 Juli
1953 – 12 Agustus 1955)
Dua bulan setelah Kabinet
Wilopo mundur, terbentuk kabinet barau yaitu Kabinet Ali Satroamijoyo (PNI)
sebagai Perdana Menterinya.Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sebelum
Pemilihan Umum I ,kabinet ini sering disebut Kabinet Ali-Wongso atau Kabinet
Ali-Wongso-Arifin. Dalam kabinet ini Masyumi sebagai partai kedua terbesar
dalam parlemen tidak turut serta dan sebagai penggantinya Nahdatul Ulama (NU) muncul
sebagai kekuatan politik baru. Sehingga, kabinet Ali Sastroamijoyo ini
merupakan gabungan dari PNI dan NU.
Program Kerja :
1.Meningkatkan keamanan dan
kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2.Pembebasan Irian Barat
secepatnya.
3.Pelaksanaan politik
bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.Penyelesaian Pertikaian
politik
Hasil Kerja :
1. Disusunnya kerangka panitia
pelaksanaan pemilu.
2. Persiapan Pemilihan Umum
untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September
1955.
3. Suksesnya Konferensi
Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1. Masalah
keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di Aceh, kabinet Ali mendapat kesulitan dari
Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang menuntut Aceh
sebagai provinsi dan meminta perhatian penuh atas pembangunan daerah. Daud
Beureueh menilai bahwa tuntutan itu diabaikan, ia menyatakan Aceh akan menjadi
bagian dari NII (Negara Islam Indonesia) buatan Kartosuwiryo (September 1953).
Usaha meningkatkan kemakmuran mengalami kegagalan karena inflasi dan korupsi
yang meningkat.
2. Terjadi Peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa
yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang
merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai
Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet.
Pengunduran Bambang Sugeng dikarenakan tugasnya sebagai KSAD dinilai
terlalu berat. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang
Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses
pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di
lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955
tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta.
Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3. Keadaan ekonomi
yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala
membahayakan.
4. Memudarnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat banyaknya masalah-masalah yang
belum dapat diselesaikan.Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan,
NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Munculnya konflik antara PNI
dan NU yang menyebabkan NU memutuskan untuk menarik dukungan kepada pemerintah
dan menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya. Adanya hal ini memaksa Ali Sastroamijoyo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
2.3.5 Kabinet
Burhanuddin Harahap (12
Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet Ali digantikan oleh
Kabinet Burhanuddin Harahap bertugas pada periode 12 Agustus 1955- 24 Maret
1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiringan dengan diumumkannya
hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin
Harahap dari Masyumi.
Program Kerja :
1.Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan
Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.Melaksanakan pemilihan umum secara baik, maksimal, dan secepat mungkin
menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen
baru.
3.Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
4.Perjuangan pengembalian Irian Barat.
- Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil Kerja :
1. Penyelenggaraan
pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan
15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang
mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai
politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
Setelah hasil pemungutan suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR diumumkan,
maka tanggal 2 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri,
menyerahkan mandatnya kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan
hasil pemilihan umum. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan
kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.
2. Perjuangan
Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.
3. Pemberantasan
korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi
militer, salah satunya adalah menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus
korupsi di Departemen Kehakiman.
4. Terbinanya
hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5. Menyelesaikan
masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat kembali Kolonel AH Nasution
sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam
lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Serta
banyaknya perseteruan antara para pemenang pemilu yang menyebabkan sidang
parlemen yang menjadi Deadlock.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka
tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan
yang cukup terhadap kabinet, sehingga kabinet pun jatuh. Akan dibentuk kabinet
baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
Sebenarnya kabinet ini
seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak ada mosi tidak percaya dari
parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer, kabinet ini dengan
sukarela menyerahkan mandatnya, setelah berhasil melaksanakan Pemilu baik untuk
anggota DPR maupun konstituante.
2.3.6 Kabinet Ali
Sastroamijoyo II (20
Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet Ali Sastroamidjojo II,
sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas pada periode 24 Maret 1956
– 14 Maret 1957. Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada tanggal 20 Maret 1956
yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini merupakan hasil
koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program Kerja
:
Program kabinet ini disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
- Perjuangan pengembalian Irian Barat ke Indonesia.
- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
1.
Pembatalan KMB, pada tanggal 3 Mei 1956 untuk memperbaiki masalah ekonomi yang
mengalami kesulitan, disusul oleh munculnya gerakan separatisme yang dikenal
dengan PRRI/Permesta.
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
- Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil Kerja :
Mendapat dukungan penuh dari
presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and
investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB, beralihnya
perusahaan Belanda menjadi milik Tionghoa (Cina), kepentingan Belanda
diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat
yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan.
Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota.
2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme. Pergolakan
daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut
kekuasaan di daerah dengan cara membentuk dewan militer, seperti Dewan Banteng
di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara
pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan
Manguni di Sulawesi Utara.
3.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib
modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya.
Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
4.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan
daerah. Sedangkan Ali Sastroamijoyo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengembalikan
mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Kemudian, tidak terima akan hal ini,
pada bulan Januari 1957 Masyumi menarik semua menterinya dari
kabinet Ali Sastroamijoyo II. Peristiwa itu sangat melemahkan kedudukan Ali
Sastroamijoyo sehingga pada pada tanggal 14 Maret 1957, Ali Satroamijoyo
akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Banyaknya kendala-kendala
dalam tubuh Kabinet Ali Sastroamijoyo II dan adanya pertentangan antara PNI dan
Mayumi yang membuat Masyumi menarik para menteri-mentrinya untuk keluar dari
Kabinet, membuat Ali Sastroamijoyo menjadi lemah kedudukannya. Ditambah dengan
banyaknya kedaaan yang sangat kacau dalam negara, membuat Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Karena
situasi negara yang kacau akibat terjadinya gerakan separatisme, konflik dalam
konstituante, maka presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya (14 Maret
1957). Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya
undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat
wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Pertentangan
politik makin meluas, sehinggapembentukan kabinet baru semakin bertambah sulit.
Sementara itu partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-menawar kedudukan
dalam bentuk kabinet baru.
Akhirnya atas dasar keadaan
draurat itu, presiden menunjuk dirinya sendiri menjadi pembentuk kabinet.
Presiden membentuk kabinet baru yang disebut Kabinet Karya dan menunjuk Ir.
Djuanda sebagai Perdana Menteri.
2.3.7 Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet Karya atau Kabinet
Djuanda ini resmi dilantik pada tanggal 8 April 1957 dalam situasi negara yang
sangat memprihatinkan.
Kabinet ini merupakan zaken
kabinet (kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari
perlemen karena kondisi negara yang dalam keadaan darurat, tetapi lebih
berdasarkan pada keahlian yaitu terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik.
Dibawah pimpinan Perdana
Menteri Ir. Djuanda, terdapat tiga orang wakil Perdana Menteri, yaitu Hardi,
Idham Chalid, dan Leimana. Tugas dari kabinet ini sangatlah berat terutama
menghadapi pegolakan-pergolakan yang terjadi diberbagai daerah, perjuangan
mengembalikan Irian Barat kedalam wilayah Indonesia dan mengatasi masalah
ekonomi serta keuangan ekonomi yang sangat buruk.
Program Kerja :
Programnya disebut Panca
Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu
:
1. Membentuk Dewan
Nasional dan menampung atau menyalurkan aspirasi dari kekuatan-kekuatan
nonpartai yang ada di masyarakat.
2. Normalisasi
keadaan Republik Indonesia.
3. Melancarkan
pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
4. Perjuangan
pengembalian Irian Barat.Mempergiat dan mempercepat proses Pembangunan
Semua program itu dilakukan
untuk menghadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat
buruk.
Hasil Kerja :
1.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan
laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan
Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat. Melalui deklarasi Djuanda yang berhasil menetapkan lebar
wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang
menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Apabila ini
diberlakukan, maka wilayah Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut
Jawa, Laut Flores, dan lain sebagainya.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi
terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 14 September
1957 untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini
membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang,
dan pembagian wilayah RI dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan
negara.
4.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam
negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
5.
Pembersihan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan
di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah
menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
Peristiwa pemberontakan PRRI ini dimulai
ketika ketua Dewan Banteng pada tanggal 10 Februari 1958 mengeluarkan
ultimatum kepada pemerintah pusat yntuk membubarkan kabinet Djuanda. Kemudian,
ditanggapi oleh oleh ketua parlemen Sartono dan dengan tegas memcat
secara tidak terhormat Achmad Husein, dkk. Setelah pemecatan ini, pada
tanggal 15 Februari 1958 Achmad Husein memproklamasikan “Pemerintahan
Revolusioner Rebublik Indonesia” (PRRI) dengan Syariffudin Prawiranegara
sebagai Perdana Menteri.menanggapi ini, pemerintah KSAD melakukan usaha
musyawarah untuk tidak mendirikan republik didalam negara republik juga untuk
memulihkan keamanan negara. Namun, usaha musyawarah tidak berhasil, sehingga
KSAD melancarkan operasi militer. Operasi ini merupakan operasi gabungan AD,
AL, dan AU. Perlahan-lahan, beberapa kota berhasil dikuasai KSAD seperti
Padang, Riau, dan kota-kota lainpun dapat dikuasai dengan singkat.
2. Keadaan ekonomi
dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan.
Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3. Terjadi
Peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat
putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
4. Munculnya
Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 10
Februari 1958, yang diketuai oleh Ahmad Husein dan Sumitro Djojohadikusumo.
Bersamaan dengan berdirinya gerakan ini, mereka mengirimkan ultimatum kepada
pemerintah yang berisi tuntutan pembubaran Kbinet Karya dan pembentukan
Kkabinet baru yang dipimpinj oleh Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Selain itu, presiden diminta bertindak secara konstitusional agar tuntutan itu
dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI
yaitu Demokrasi Terpimpin.
Namun,kabinet
ini juga sempat dihadapkan pada situasi yang sulit ketika mengalami kegagalan
dalam menghadapi pergolakan di di daerah yang semakin meningkat,sehingga
menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta, keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin
buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan,sehingga mengakibatkan
krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya. Sampai pada akhirnya terjadi
peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat
putra-putrinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Pada tanggal 10 Februari 1958,
Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda dibubarkan
dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak menghiraukan hal ini
sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya “Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai
perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu
Permesta. Hal itu membuat situasi negara semakin mengkhawatirkan.Pada tanggal
22 April 1959 dihadapan Konstituante,Presiden Soekarno berpidato yang isinya
menganjurkan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.Anjuran Presiden
tersebut diberikan kepada Konstituante selama kurang lebih tiga tahun berdebat
tanpa berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar. Juga mengenai anjuran presiden
tersebut,Konstituante tidak berhasil memberikan kata putus dan demikian kuatlah
kesan bahwa partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak mampu untuk
menembus jalan buntu dengan cara-cara parlementer.Kabinet inipun akhirnya
menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sehingga dimulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Keadaan politik di masa demokrasi parlementer juga diwarnai dengan gagalnya
konstituante dalam membuat undang-undang yang baru bagi Indonesia.
Konstituante adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk membentuk UUD baru dan
juga untuk menanggulangi segala permasalahan dalam negeri yang sedang tidak
stabil. Faktor-faktor untama yang menjadi penyebab gagalnya konstituante adalah
terdapatnya sikap mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang
berada di dalam konstituante. Pada saat itu, terdapat tiga poros kekuatan
partai politik utama yang menempati kursi konstituante dan pemerintahan, yaitu
kekuatan partai Islam (Masyumi,NU,PSII,Perti,dll), kekuatan partai Nasionalis
(PNI,dll), dan kekuatan partai Komunis (PKI,PSI,Acoma,dll). Di antara ketiga
kekuatan utama itu, tidak terdapat konsensus yang baik untuk merancang
undang-undang dasar sehingga selalu menemui jalan buntu. Selain itu terdapat
pula berbagai peristiwa politik yang merembet pada konflik kepentingan
masing-masing kelompok politik di dalam tubuh konstituante.
2.4 Keadaan
Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga
tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup
berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai
berikut :
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan
nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp.
2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.Kebijakan ini dilakukan oleh
Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan
ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU
tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk
menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang
Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan
kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200
juta.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng
merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi
yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan
oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
1.Menumbuhkan kelas pengusaha
dikalangan bangsa Indonesia.
2.Para pengusaha Indonesia yang
bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi nasional.
3.Para pengusaha Indonesia yang
bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
4.Para pengusaha pribumi diharapkan
secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam
program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950.
Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa
Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini
tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin
besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
1.Para pengusaha pribumi tidak dapat
bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
2.Para pengusaha pribumi memiliki
mentalitas yang cenderung konsumtif.
3.Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada
pemerintah.
4.Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan
usahanya.
5.Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan
besar dan menikmati cara hidup mewah.
6.Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan
mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya program ini menjadi salah
satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak
3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi
lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang
dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa
nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat
peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah
Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan
moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan
biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
Perubahan mengenai nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No.
24 tahun 1951.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai
oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi
sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi
khususnya Cina.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
- Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
- Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional
- Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan
kredit.Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan
persaingan bebas.Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap
dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede
Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek,
yang berisi :
1.Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
2.Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas
hubungan bilateral.
3.Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang
Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
4.Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau
menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13
Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya
untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga,
tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang
pembatalan KMB.
Dampaknya
: Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya,
sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda
tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal
yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan
politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi,
dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya
merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini
berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan
karena :
1.Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa
Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan
pendapatan negara merosot.
2.Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak
ekonomi.
3.Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga
banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi
ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara
waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan
diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat
dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap
saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik
karena :
- Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
- Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
- Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
- Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
- Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
2.5 Keadaan Sosial Budaya Indonesia pada
Masa Demokrasi Parlementer
Partai Politik menggalakkan
masyarakat dengan membentuk organisasi massa (ormas), khususnya dalam
menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot
menguntungkan partai-partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena
dapat menguasai massa. PKI makin berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat
merupakan salah satu dari empat besar dan kegiatannya ditingkatkan yang
mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).
Meskipun banyak kesulitan yang
dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam bidang budaya ini. Untuk mencukupi
tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah membuka banyak universitas
yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Prestasi lain adalah dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah Indonesia berupa
kepualauan, maka Pemerintah mengubah peraturan dari pemerintah kolonial
Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, yang
menyebutkan wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut diukur
dari garis rendah pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan wilayah daratannya.
Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia. Karena itu Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut sebagai
Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi kesalahpahaman.
Indonesia juga membuat peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969. Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan negara-negara tetangga tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi kesalahpahaman.
Komentar
Posting Komentar